Dokumenter Masterpiece Leni Riefenstahl!
"Triumph des Willens". Full Nazi dari awal sampe akhir! Hehehe...
Daya tarik utama dari "Triumph des Willens" adalah cuplikan pidato Hitler yang berapi-api, yang mempesona para pendengarnya!
Berbagai adegan lain dari "Triumph des Willens"
Sang pembuat "Triumph des Willens", Leni Riefenstahl (kanan), bersama dengan Hitler di tahun 1934
Bila anda berminat untuk membeli DVD film dokumenter "Triumph des Willens" alias "Triumph of the Will" yang dahsyat ini (dengan kualitas gambar yang super, teks Inggris dan ekstra tambahan), bisa dilihat DISINI
Oleh : Alif Rafik Khan
Triumph des Willens (Inggris: Triumph of the Will,
Indonesia: Kemenangan Tekad), adalah sebuah film propaganda buatan Leni
Riefenstahl. Film ini menceritakan kronologi Kongres Partai Nazi di Nürnberg
tahun 1934 yang dihadiri oleh tidak kurang dari 700.000 orang
simpatisan Nazi! Film ini juga memperlihatkan pidato-pidato para
dedengkot Nazi di kongres tersebut (termasuk beberapa bagian pidato
Adolf Hitler) yang diselingi oleh cuplikan pemandangan kolosal anggota
partai Nazi yang menyemut memenuhi stadion. Pembuatan film ini sendiri
merupakan perintah langsung dari Hitler (yang menjadi salah satu
produser eksekutif tak resmi dan namanya nongol di judul pembuka!).
secara garis besar, film ini bercerita tentang kembalinya Jerman sebagai
negara superpower dunia, dengan Hitler sebagai pemimpin Jerman
satu-satunya yang akan membawa bangsa Jerman ke kejayaannya.
Triumph des Willens
dikeluarkan tahun 1935 dan langsung menjadi salah satu contoh
propaganda paling dikenal dalam sejarah perfilman. Teknik-teknik yang
digunakan oleh Riefenstahl dalam pembuatan film ini (seperti misalnya
kamera yang bergerak, penggunaan lensa yang mempunyai fokus panjang
sehingga menciptakan pemandangan terdistorsi, fotografi udara, dan
pendekatan revolusioner dalam penggunaan musik dan sinematografi) telah
membuat Triumph des Willens
diakui sebagai salah satu dari film paling berpengaruh dalam sejarah.
Riefenstahl berhasil memperoleh beberapa penghargaan, tak hanya di
Jerman tapi juga di Amerika Serikat, Prancis, Swedia, dan negara-negara
lainnya. Film ini amit-amit ngetopnya zaman Third Reich dan dimana-mana,
dan sampai sekarang masih tetap mempengaruhi banyak film, dokumenter
dan iklan!
Triumph des Willens
dibuka oleh prolog, yang merupakan satu-satunya komentar di seluruh
bagian film dan terdiri dari tulisan berseri dengan latar belakang
abu-abu:
Am 5. September 1934
[Tanggal 5 September 1934]
20 Jahre nach dem Ausbruch des Weltkrieges
[20 tahun setelah pecahnya Perang Dunia]
16 Jahre nach dem Anfang deutschen Leidens
[16 tahun setelah dimulainya penderitaan bangsa Jerman]
19 Monate nach dem Beginn der deutschen Wiedergeburt
[19 bulan setelah permulaan kelahiran kembali Jerman]
flog Adolf Hitler wiederum nach Nürnberg, um Heerschau abzuhalten über seine Getreuen
[Adolf Hitler terbang kembali ke Nürnberg untuk meninjau barisan pengikut setianya]
‘Hari
1’ : Film dimulai oleh pemandangan awan di atas kota, dan kemudian
berpindah ke awan yang mengambang di atas kerumunan manusia di bawahnya,
yang bertujuan untuk menampilkan kemegahan dan keindahan suasana.
Bayangan berbentuk salib dari pesawat Hitler tampak terlihat saat dia
terbang di atas figur-figur sebesar semut yang berbaris di bawahnya,
diiringi oleh musik gubahan Richard Wagner berjudul Die Meistersinger von Nürnberg, yang secara perlahan berganti menjadi Horst-Wessel-Lied.
Setelah tiba di pelabuhan udara Nürnberg, Hitler dan para pemimpin Nazi
lain keluar dari pesawat dengan disambut oleh gemuruh tepuk tangan dan
sorak-sorai kerumunan massa. Dia lalu berangkat dengan iring-iringan
mobil menuju hotel Nürnberg melalui masyarakat yang terlihat sangat
antusias dan bergembira menyambut kedatangan Führer-nya.
Setelah sampai, Hitler keluar dari balkon hotel untuk menghormati para
pendukungnya yang tidak henti-hentinya bersorak-sorai. Malam harinya
diadakan sebuah upacara massal Nazi persis di depan hotel.
‘Hari
2’ : Hari kedua dimulai dengan montase para peserta kongres akbar
Partai Nazi yang bersiap-siap untuk upacara pembukaannya, dan kemudian
disusul dengan kedatangan para penggede partai di Arena Luitpold. Film
lalu berpindah ke upacara pembukaan, dimana Rudolf Hess mengumumkan
dibukanya kongres. Disini kamera ‘memperkenalkan’ sebagian besar tokoh
top Nazi dan menghadirkan cuplikan pidato pembukaan mereka, termasuk
Joseph Goebbels, Alfred Rosenberg, Hans Frank, Fritz Todt, Robert Ley,
dan Julius Streicher. Film lalu berpindah lagi ke acara luar ruangan
yang menampilkan Reichsarbeitsdienst
(Jawatan Buruh), yang terutama terdiri dari cuplikan-cuplikan latihan
bergaya militer dari orang-orang yang membawa sekop! Disinilah kita
berkesempatan mendengarkan pidato pertama Hitler tentang jasa-jasa
Jawatan Buruh dan yang memuji kerja keras mereka dalam membangun kembali
Jerman. Hari diakhir dengan parade pembawa obor SA dengan Viktor Lutze (SA-Stabschef) berpidato di hadapan puluhan ribu anakbuahnya.
‘Hari 3’ : Hari ketiga dimulai dengan upacara massal Hitlerjugend di lapangan parade. Sekali lagi kamera mengcover kedatangan tokoh-tokoh Nazi dan pidato pembukaan oleh Reichsjugendführer
Baldur von Schirach. Tentu saja ‘sajian’ utama adalah pidato dari
Hitler sendiri, yang mendorong para hadirin yang sebagian besar terdiri
dari anak-anak dan ABG Jerman untuk memperkeras diri mereka dan bersiap
untuk berkorban demi negara. Semua yang hadir, termasuk Generaloberst Werner von Blomberg (belum jadi Generalfeldmarschall),
lalu berkumpul untuk meninjau parade militer yang menampilkan satuan
kavaleri Wehrmacht dan beragam kendaraan lapis baja. Malam itu Hitler
kembali berpidato di hadapan para pejabat rendah partai Nazi dengan
diterangi oleh cahaya obor, dalam perayaan satu tahun Nazi naik ke
tampuk kekuasaan dan mengumumkan bahwa partai dan negara adalah satu
kesatuan yang tak dapat dipisahkan.
‘Hari
4’ : Hari keempat adalah klimaks dari film, dimana susasananya
benar-benar tak terlupakan. Seiring dengan musik soundtrack yang
menampilkan karya Wagner berjudul Götterdämmerung, Hitler,
dengan diiringi oleh Heinrich Himmler dan Viktor Lutze, berjalan
melalui 150.000 pasukan SA dan SS yang berdiri tegap untuk meletakkan
sebuah karangan bunga di monumen peringatan Perang Dunia I. Hitler lalu
berdiri sambil meninjau parade SA dan SS, diikuti oleh pidato yang
dibawakan oleh Hitler dan Lutze tentang Peristiwa Malam Pisau Panjang (Night of the Long Knives)
yang terjadi hanya beberapa bulan sebelumnya. Lutze meyakinkan
kesetiaan SA terhadap Hitler, sementara Hitler membebaskan SA dari
setiap kejahatan yang telah dilakukan oleh Ernst Röhm. Bendera-bendera
partai baru ‘disucikan’ dengan cara menyentuhkannya ke Blutfähne (bendera yang konon dibawa oleh Nazi-Nazi yang gugur dalam Beer Hall Putsch)
yang dibawa oleh tokoh kerempeng penjelmaan Gogon Srimulat, Jakob
Grimminger. Acara selanjutnya adalah parade akhir di depan Nürnberg
Frauenkirche, yang diikuti oleh pidato dari, siapa lagi kalau bukan,
Adolf Hitler. Dia menegaskan keutamaan Partai Nazi di Jerman dengan
mendeklarasikan bahwa “setiap orang Jerman yang setia akan menjadi
Nasional-Sosialis. Hanya Nasional-Sosialis terbaik yang merupakan
kamerad partai!” Hess lalu memimpin hadirin yang berkumpul dalam salut Sieg Heil (Hidup kemenangan) penghabisan kepada Hitler, yang merupakan penutup kongres partai. Seluruh yang hadir lalu menyanyikan Horst-Wessel-Lied
seiring dengan kamera yang berfokus pada bendera swastika raksasa, yang
sedikit demi sedikit memudar dalam bayangan orang-orang berseragam
Partai Nazi yang berbaris dalam formasi sambil menyanyikan lagu yang
salah satu liriknya berbunyi “Kamerad ditembak oleh Front Merah dan para
Reaksioner berjalan bersama dalam semangat di barisan kami”.
“Tak
lama setelah Hitler berkuasa, dia memanggilku dan menjelaskan bahwa dia
menginginkan sebuah film yang menceritakan tentang kongres partai, dan
menginginkanku untuk membuatnya. Reaksi pertamaku adalah mengatakan
bahwa aku tak tahu sama sekali tentang bagaimana sistem kerja organisasi
partai, sehingga aku takut kalau nantinya karyaku banyak mengandung
kesalahan dan tak memuaskan siapapun – ini dengan perkiraan bahwa aku
bahkan mampu membuat sebuah film dokumenter, yang tak pernah aku buat
sebelumnya! Hitler mengatakan bahwa ini justru adalah alasan utama
kenapa dia menginginkanku untuk membuatnya: karena setiap orang yang
mengetahui mengenai peran penting beberapa tokoh hierarki partai ,
organisasi-organisasi di dalam tubuh Nazi dan lain-lain nantinya pasti
akan membuat sebuah film yang sangat akurat, tapi ini bukanlah yang dia
inginkan! Dia menginginkan sebuah film yang memperlihatkan acara kongres
melalui mata ‘orang luar’, yang memilih hanya bagian-bagian yang secara
artistik memuaskan – dalam hal tontonannya, mungkin itu yang akan kau
katakan. Dia menginginkan sebuah film yang dapat menggerakkan,
menyerukan permohonan, dan memukau setiap yang menonton, baik dia
tertarik akan politik atau tidak.”
- Leni Riefenstahl –
Riefenstahl, yang awalnya adalah artis populer Jerman, telah menyutradarai film pertamanya yang berjudul Das Blaue Licht
(Cahaya Biru) tahun 1932. di sekitar saat ini pula dia untuk pertama
kalinya mendengarkan Hitler berpidato di acara Nazi dan, menurut
pengakuannya sendiri, dia langsung terkesima. Riefenstahl kemudian mulai
berkorespondensi dengan Hitler, yang akan berjalan selama
bertahun-tahun. Di lain pihak, Hitler sama kagumnya terhadap Das Blaue Licht, dan pada tahun 1933 meminta Riefenstahl untuk menyutradarai sebuah film tentang reli tahunan Nazi di Nürnberg.
Kaum Nazi baru saja naik ke tampuk kekuasaan setelah bertahun-tahun
terjadinya kekacauan di bidang politik dan ekonomi (Hitler adalah
Kanselir keempat Jerman dalam waktu kurang dari satu tahun!) dan saat
itu masih belum banyak diketahui “kualitasnya” oleh sebagian besar orang
Jerman, jangan dulu di seluruh dunia.
Pada
awalnya Riefenstahl menolak. Bukan karena adanya beban moral, tapi
lebih karena dia ingin meneruskan membuat film-film roman komersial
standar bioskop. Hitler tidak menyerah dengan keinginannya dan akhirnya
Riefenstahl setuju juga untuk membuat sebuah film tentang Reli Nürnberg
tahun 1933 yang berjudul Der Sieg des Glaubens
(Kemenangan Kepercayaan). Sayangnya film ini mempunyai banyak masalah
teknis di dalam pembuatannya, termasuk kurangnya persiapan (Riefenstahl
melaporkan kesediaanya hanya beberapa hari sebelum Reli dimulai!) dan
ekspresi Hitler yang kelihatan sekali tidak nyaman saat di-shoot
dari jarak dekat. Untuk membuat masalah lebih buruk, Riefenstahl harus
berurusan dengan beberapa pejabat teras partai Nazi, terutama Joseph
Goebbels, yang berusaha agar film tersebut dikeluarkan oleh Kementerian
Propaganda. Meskipun Der Sieg des Glaubens
pada akhirnya mencapai hasil yang memuaskan di peringkat box office
Jerman, tapi dia kemudian malah menjadi suatu hal yang memalukan bagi
Nazi setelah pemimpin SA Ernst
Röhm, yang mempunyai porsi besar dalam film tersebut, dieksekusi oleh
SS selama berlangsungnya Malam Pisau Panjang. Semua hal yang berbau Röhm
langsung diperintahkan untuk dihapus dari sejarah Jerman, termasuk
penghancuran semua kopi yang diketahui dari Der Sieg des Glaubens!
Tentu
saja Riefenstahl kecewa berat menerima kenyataan bahwa filmnya
dimusnahkan bukan karena kesalahannya sendiri. Pada tahun 1934 dia
bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan Der Sieg des Glaubens
dan ogah mengurusi film-film yang berhubungan dengan Nazi lagi. Sebagai
solusinya, dia merekomendasikan sesama sutradara Walter Ruttmann. Film
karya Ruttmann, yang akan meng-cover bangkitnya Partai Nazi dari tahun 1923 sampai dengan 1934 dan lebih berbau propaganda (teks pembukaan Triumph des Willens adalah buatannya) ternyata tidak memuaskan Sang Führer.
Hitler sekali lagi meminta kesediaan Riefenstahl, yang akhirnya
mengalah juga (terdapat perdebatan mengenai seberapa ‘rela’ Riefenstahl)
setelah Hitler memberi garansi dukungan pribadi dan janji untuk
menyingkirkan organisasi-organisasi Nazi, terutama Kementerian
Propaganda, dari keikutcampuran proses pembuatan film dan penyebarannya.
Triumph des Willens mempunyai skrip skenario yang sama dengan Der Sieg des Glaubens,
yang akan tampak jelas bila orang melihat kedua film ini dalam waktu
yang bersamaan. Sebagai contoh, adegan kota Nürnberg begitu miripnya,
bahkan sampai pengambilan gambar seekor kucing yang nongkrong di balkon
saat adegan iring-iringan mobil Hitler! Lebih jauh lagi, Herbert Windt
menggunakan kembali sebagian besar dari karya musiknya di Der Sieg des Glaubens untuk Triumph des Willens. Tapi tidak seperti Der Sieg des Glaubens, Riefenstahl membuat Triumph des Willens dengan bujet yang lebih besar, persiapan gede-gedean, dan bantuan vital dari top-notch
Nazi seperti Goebbels. Seperti yang diutarakan oleh Susan Sontag, “Reli
kali ini direncanakan tidak hanya sebagai sebuah pertemuan kolosal yang
spektakuler, tapi juga sebagai sebuah film propaganda yang
spektakuler.” Albert Speer, arsitek pribadi Hitler, menjadi perancang
utama set dan background di Nürnberg sekaligus sebagai koordinator utama
dari sebagian besar tahap acara ini. Hitler memang tidak main-main
dengan janjinya untuk mensupport Riefenstahl sepenuh hati. Sebuah lubang
khusus digali didepan podium sehingga Riefenstahl dapat mengatur angle
kameranya sesuai dengan apa yang dia inginkan, dan jalan rel
dibentangkan sehingga kameraman dapat menghasilkan gambar berjalan dari
kerumunan massa. Ketika hasil mentahnya masih belum memuaskan sang
sutradara, tokoh-tokoh Partai Nazi dan pejabat pemerintahan sampai
membuat reka ulang kembali pidato mereka di studio, khusus buat
Riefenstahl! Tidak hanya itu, Riefenstahl juga menggunakan awak film
yang terbilang dahsyat untuk masa itu: Awaknya berjumlah total 172
orang, termasuk 10 orang staff teknis, 36 kameraman dan asistennya (yang
beroperasi dalam 16 tim dengan menggunakan 30 kamera), sembilan
kameraman udara, 17 pembawa wartaberita, 12 awak wartaberita, 17 petugas
lampu/cahaya, dua fotografer, 26 supir, 37 petugas keamanan, empat
pekerja buruh (seksi repot), dan dua asisten kantor! Sebagai tambahan,
banyak dari kameramannya berpakaian ala SA agar memudahkan mereka
berbaur dengan kerumunan massa.
Riefenstahl
mempunyai tugas berat untuk membuat sebuah film berdurasi 2 jam dari
bahan ‘mentahnya’ yang berdurasi 61 jam! Dia bekerja keras untuk
menyelesaikan film ini secepat mungkin, sampai harus rela tidur selama
berhari-hari di ruang editing yang dipenuhi oleh ratusan ribu meter roll
film!
“Pembukaan
rapat pagi ini... lebih dari pertunjukan yang menakjubkan. Dia juga
mengandung semacam klenik dan semangat religius dari sebuah Misa Paskah
atau Natal di sebuah katedral Gothik besar.”
- Reporter William Shirer –
Triumph des Willens
kadangkala disebut-sebut sebagai contoh dari agama politik Nazi. Agama
utama di Jerman sebelum Perang Dunia II adalah Kristen. Dengan dua sekte
utama Katolik Roma dan Protestan, pandangan Kristen dalam film ini
sangat jelas ditunjukkan untuk membuatnya lebih gampang diterima oleh
orang-orang yang menontonnya.
Religi adalah tema utama dari Triumph des Willens.
Film dibuka oleh Hitler yang merefleksikan Tuhan saat dia ‘terbang’
melalui dua buah puncak katedral. Film ini juga mengandung banyak adegan
dentang lonceng gereja dan individu-individu yang menunjukkan
kegairahan yang hampir-hampir seperti kefanatikan terhadap agama, belum
lagi rekaman yang menunjukkan Uskup Reich Ludwig Müller yang berdiri
dengan jubah kebesarannya di tengah-tengah tokoh Nazi tingkat tinggi.
Bukanlah suatu kebetulan pula kalau parade terakhir yang ditunjukkan di
film ini digelar di depan Frauenkirche Nürnberg.
Dalam pidato penghabisannya di film, Hitler memperbandingkan Partai
Nazi dengan ordo suci, dan pentahbisan bendera-bendera partai baru
dengan membuatnya disentuhkan oleh Hitler ke “bendera darah” jelas-jelas
menunjukkan pesan religius. Hitler sendiri digambarkan bagaikan seorang
Messiah, dari pertama saat dia turun dari awan dengan pesawat,
dilanjutkan dengan perjalanannya ke Hotel Nürnberg
(yang bahkan kucing pun berhenti untuk ‘menontonnya’!), sampai ke
banyak adegan dimana kamera mengabadikan Sang Führer dari bawah dan
menyorot ke atas dirinya: Hitler, berdiri di podium, akan mengeluarkan
perintah di hadapan ratusan ribu pengikutnya, sementara hadirin pun
tampak satu dalam kesatuan saat mengamininya. Hal ini disimpulkan
melalui komentar Frank P. Tomasulo, “Hitler digambarkan sebagai seorang
Messiah Jerman yang akan menyelamatkan negaranya, hanya bila bangsanya
rela untuk menyerahkan nasib mereka sepenuhnya di tangan dia.”
“Ini adalah keinginan kita bahwa negara dan Reich ini akan bertahan sampai milenium selanjutnya.”
- Adolf Hitler -
Jerman
tak pernah melihat gambaran kekuatan militer dalam persentase yang
sebegitu kolosalnya dari sejak berakhirnya Perang Dunia I, dan formasi
raksasa Angkatan Perang Nazi seakan menunjukkan kepada siapapun yang
menonton bahwa Jerman kini telah kembali kepada masa kejayaannya. Para
buruh ditampilkan dengan membawa sekop, tapi mereka memegangnya
seakan-akan sedang memegang bedil! Lambang Rajawali dan Swastika dapat
diartikan sebagai perwujudan legiun-legiun Romawi zaman kuno. Kumpulan
besar anggota partai yang tampak terlatih dengan baik seakan-akan merupakan pemberi peringatan bagi siapapun yang coba-coba menantang kekuasaan Nazi.
Kedatangan
Hitler dengan menggunakan pesawat juga bisa dilihat dalam konteks ini,
seperti yang diutarakan oleh Kenneth Poferl, “terbang dengan pesawat
adalah sebuah kemewahan yang hanya bisa dinikmati segelintir orang di
tahun 1930-an, Tapi Hitler telah membuat dirinya dihubungkan secara luas
dengan praktek ini. Dia adalah politisi pertama yang berkampanye
melalui perjalanan udara. Kemenangan telah menambah peran penting
gambaran ini dan membuatnya sebagai orang pertama dalam pergerakan,
dengan memperlihatkan dirinya sebagai satu-satunya orang yang turun dari
pesawat dan menerima sambutan yang meriah dari masyarakat yang
menunggunya. Pidato Hitler di hadapan SA juga mengandung pesan ancaman:
bila Röhm saja, yang merupakan panglima dari jutaan anggota SA, dapat
dengan mudahnya dieksekusi mati atas perintah Sang Führer,
maka adalah logis pula untuk menganggap bahwa dia bisa memerintahkan
siapa saja untuk ‘disingkirkan’ kalau mereka sampai berani menentang
perintahnya, jangan dulu memberontak terhadap kekuasaannya.
“Tak
lama sesudah propaganda kita mulai bekerja dan diterima bagaikan sebuah
cahaya redup kebenaran di pihak lain, maka fondasi untuk keraguan akan
kebenaran kita sendiri telah diletakkan.”
- Adolf Hitler -
Adalah
sangat penting bagi Hitler bahwa pesan propagandanya membawa tema
manunggal. Bila sebuah negara tidak bersatu dalam mengatakan bahwa musuh
adalah buruk, maka pemirsanya akan mulai memendam keraguan. Kesatuan
terlihat di sepanjang film ini, bahkan sampai di tempat kamp-kamp tempat
para prajurit tinggal. Kamp di luar kota Nürnberg
terlihat begitu seragam dan bersih; tenda-tendanya berada dalam garis
lurus yang sempurna, dengan setiap tenda begitu sama persis dengan tenda
lainnya. Orang-orang yang ada disana juga tidak memakai baju atau
seragam, karena seragam akan menunjukkan pangkat dan status mereka.
Dengan bertelanjang dada maka mereka akan terlihat sederajat dan
bersatu. Ketika mereka berbaris, maka mereka berbaris dengan serentak
dalam satu kesatuan sambil membawa senjata mereka yang begitu identik
dan tidak ada perbedaannya satu sama lain.
Pidato Hitler kepada para pekerjanya juga menyelipkan pesan persatuan:
“Konsep
tentang perburuhan tidak lagi akan berbeda-beda seperti sebelumnya tapi
akan menjadi sebuah konsep yang satu. Tak akan ada lagi di Jerman orang
yang menganggap buruh biasa lebih rendah derajatnya dibandingkan dengan
bentuk ketenagakerjaan lainnya.”
- Adolf Hitler -
Anak-anak juga tak ketinggalan digunakan untuk menyampaikan pesan persatuan:
“Kita
ingin menjadi sebuah bangsa yang bersatu dan kalian, pemudaku, akan
menjadi bangsa ini. Di masa depan, kita tidak ingin melihat adanya
perbedaan kelas dan golongan dan kalian, pemudaku, jangan sampai
membiarkan hal ini berkembang dalam pikiran kalian. Satu hari nanti,
kita ingin melihat satu bangsa.”
- Adolf Hitler –
Triumph des Willens
mengandung banyak adegan yang mengaburkan perbedaan antara Partai Nazi,
negara Jerman, dan rakyatnya. Orang-orang Jerman dalam pakaian petani
dan pakaian tradisional lainnya menyambut kedatangan Hitler di beberapa
adegan. Prosesi obor, yang sekarang telah secara luas diasosiasikan
dengan Nazi, akan mengingatkan pemirsa dengan perayaan karnaval abad
pertengahan. Bendera lama Kekaisaran Jerman juga diperlihatkan beberapa
kali, melambai-lambai bersama-sama dengan Swastika, dan terdapat sebuah
upacara dimana Hitler memberikan penghormatan kepada para prajurit yang
telah gugur dalam Perang Dunia I (juga kepada Presiden Paul von
Hindenburg yang telah meninggal sebulan sebelum acara di Nürnberg diselenggarakan). Selain itu, ada adegan dimana masing-masing anggota RAD (Reichsarbeitsdienst,
Persatuan Buruh Reich) saling menyebutkan nama-nama tempat asal mereka,
yang seakan mengingatkan pemirsa bahwa Partai Nazi telah berkembang
pesat dari basisnya di Bavaria dan kini menjadi sebuah gerakan
pan-Jerman.
“Partai adalah Hitler – dan Hitler adalah Jerman, yang sama halnya dengan Jerman yang juga adalah Hitler!”
- Rudolf Hess –
Di
antara tema-tema yang ditampilkan, gairah untuk kebanggaan di Jerman
dan pemurnian bangsa Jerman teraktualisasikan dengan baik melalui
pidato-pidato dan suasana yang ditampilkan dalam Triumph des Willens.
Di
dalam setiap pidato yang diperlihatkan dalam film ini, kebanggaan
adalah salah satu fokus utamanya. Hitler menyarankan benar kepada
rakyatnya agar mereka tidak puas hanya dengan keadaan mereka yang
sekarang, juga agar mereka tidak berdiam diri menerima kekalahan dan
hilangnya prestise sebagai sebuah bangsa yang diderita setelah
berakhirnya Perang Dunia I. Rakyat Jerman harus percaya kepada diri
mereka sendiri dan gerakan yang sekarang sedang terjadi di negaranya.
Hitler membawa kebanggaan kepada Jerman melalui persatuannya, sementara
Jerman yang bersatu akan menghapuskan setiap hal yang tidak memenuhi
standar rezim Nazi.
Untuk
mempersatukan Jerman, Hitler percaya bahwa harus dilakukan pemurnian
terlebih dahulu. Ini berarti tidak hanya penghapusan warga Jerman yang
bukan keturunan Arya, tapi juga orang-orang yang sakit, lemah, cacat,
atau warganegara lain yang digolongkan “tidak sempurna”. Dalam Triumph
des Willens, Hitler dengan bersemangat berorasi bahwa rakyat Jerman
harus mengurusi dirinya sendiri dan menyingkirkan apa yang memang harus
disingkirkan: “Elemen-elemen yang menjadi buruk, dan karena itu tidak
layak untuk menjadi milik kita!” Eliminasi ‘orang-orang rendah’ ini
akan, dalam teorinya, mengubah Jerman menjadi sebuah negara yang
membanggakan dan sekuat sebelumnya. Julius Streicher menekankan
pentingnya pemurnian ini dan efek yang terjadi apabila hal tersebut
tidak dilaksanakan.
Hitler
mengajarkan kepada rakyatnya agar mereka percaya kepada negaranya dan
diri mereka sendiri. Bangsa Jerman sebenarnya lebih baik dari apa yang
terlihat saat ini, dan kemerosotan tersebut terjadi karena adanya
ketidakmurnian dalam masyarakat. Hitler menginginkan agar mereka
mempercayai dirinya dan mempercayai apa yang dia lakukan untuk
keuntungan rakyatnya. Rudolf Hess mengatakan dalam adegan terakhir Triumph des Willens,
“Heil Hitler! Sieg heil! Sieg heil!” (Hidup Hitler! Hidup kemenangan!
Hidup kemenangan!), dan semua yang hadir serentak meneriakkan kata yang
sama. Isyarat lisan ini melambangkan kepercayaan penuh mereka terhadap
pemimpinnya, juga terhadap partai dan tokoh-tokohnya. Hal ini langsung
diikuti oleh teriakan Hitler, “Jayalah Nasional-Sosialisme! Jayalah
Jerman!” dan hadirin langsung meledak dalam sorak-sorai kegembiraan
sebagai pemenuhan rasa bangga mereka terhadap diri sendiri dan partai
politiknya.
Dalam pidato penutup Triumph des Willens,
Hitler memasuki ruangan dari belakang dan tampak seakan-akan muncul
dari tengah-tengah khalayak. Setelah satu bagian pengenalan, dia
mengatakan kepada pengikut Nazinya yang setia bagaimana bangsa Jerman
telah menyatukan dirinya dengan Partai Nazi semata karena
pemimpin-pemimpinnya adalah orang Jerman. Dia menjanjikan bahwa negara
yang telah ‘diciptakan’ oleh Nazi ini akan bertahan sampai ribuan tahun!
Hitler juga mengatakan bahwa anak-anak muda akan meneruskan perjuangan
ini setelah yang tua melemah. Pidato ini ditutup dengan semboyan,
“Partai adalah Hitler, dan Hitler adalah Jerman.” Kamera langsung
berfokus pada Swastika raksasa di atas Hitler dan film pun berakhir
dengan gambaran bendera-bendera Swastika yang dibawa oleh anggota Nazi
yang berbaris dengan gagahnya. Pidatonya ini telah membawa perhatian
besar dunia terhadap reli partai Nazi dan menciptakan timbal-balik yang
besar di tahun-tahun selanjutnya. Dia menarik begitu banyak orang
melalui cara dia berpidato dan memberikan arahan terhadap rakyatnya. Dia
berbicara kepada mereka seakan-akan sedang memberikan khotbah yang
menusuk langsung kepada hati para pendengarnya. Pada tahun 1934 itu,
lebih dari sejuta orang ikut berpartisisapi eh berpartisipasi dalam Reli
Nürnberg.
Triumph des Willens
mulai dipertontonkan kepada publik tanggal 28 Maret 1935 di Istana
Teater Ufa Berlin dan langsung mencetak kesuksesan instan. Hanya dalam
waktu dua bulan film ini telah menghasilkan keuntungan 815.000
Reichsmark, dan Ufa menggolongkannya ke dalam satu dari tiga film paling
menguntungkan di tahun itu! Hitler sendiri begitu puas akan hasil film
ini dan memujinya sebagai “Pemujaan tak tertandingkan dari kekuatan dan
keindahan Gerakan kita”. Untuk usahanya ini, Riefenstahl dianugerahi Deutscher Filmpreis (Penghargaan Film Jerman), medali emas dalam Biennale Venesia tahun 1935, dan Grand Prix dalam World Exhebition
di Paris tahun 1937. di lain pihak, terdapat beberapa klaim bahwa film
ini akan membawa gelombang ‘mualaf’ massal terhadap fasisme meskipun
pihak Nazi sendiri tampaknya tidak melakukan usaha yang sungguh-sungguh
untuk mempromosikan film tersebut di luar Jerman. Sejarawan film Richard
Taylor juga mengatakan bahwa Triumph des Willens tidak secara umum digunakan sebagai bahan propaganda hanya di dalam ruang lingkup Third Reich saja. The Independent menulis pada tahun 2003: “Triumph of Will
akan ‘menggoda’ banyak orang bijak, yang mendorong mereka untuk
mengagumi dan bukannya mencela. Tak diragukan lagi, film ini telah
membawa banyak teman dan sekutu baru di seluruh dunia.”
Penerimaan
di negara lain tidak selalu seantusias seperti di Jerman. Dokumentarian
Inggris Paul Rotha menyebutnya sebagai ‘membosankan’, sementara yang
lainnya sampai diusir karena pandangan pro-Nazi mereka. Selama
berlangsungnya Perang Dunia II, Frank Capra membuat sebuah film
‘tandingan’ berjudul Why We Fight.
Film ini terdiri dari delapan buah seri yang menampilkan
cuplikan-cuplikan berita dari pemerintah Amerika Serikat yang kemudian
digabungkan dengan beberapa adegan Triumph des Willens.
Uniknya, adegan-adegan ini dikondisikan sebegitu rupa sehingga malah
berbalik seakan-akan mendukung ‘perjuangan’ Sekutu! Capra di kemudian
hari berkata bahwa Triumph des Willens
“tidak menembakkan satu pun senapan, tidak menjatuhkan satu pun bom,
tapi berfungsi sebagai senjata psikologis yang bertujuan untuk
menghancurkan keinginan untuk melawan. Hal ini adalah sama
mematikannya.” Klip-klip dari Triumph des Willens juga digunakan di sebuah film pendek propaganda Sekutu berjudul General Adolph Takes Over,
yang disetting sesuai dengan lagu dansa Inggris terkenal “The Lambeth
Walk”. Legiun-legiun yang berbaris dengan gagahnya, seperti juga gambar
Hitler yang memberikan salam Nazi, dibuat seakan-akan sebagai boneka
yang menari-nari sesuai dengan irama musik! Juga dalam Perang Dunia II,
penulis puisi Dylan Thomas menarasikan sekaligus menulis sebuah skenario
berjudul These Are The Men, potongan propaganda yang menggunakan cuplikan-cuplikan dari Triumph des Willens demi mendiskreditkan kepemimpinan Nazi.
Salah satu cara terbaik untuk mengukur tingkat kesuksesan yang diterima Triumph des Willens
adalah popularitas internasional instan yang berlangsung sepanjang masa
yang diberikannya kepada sang pembuat, Leni Riefenstahl. The Economist
mengatakan bahwa dia telah “mentahbiskan reputasinya sebagai pembuat
film wanita terbesar di abad ke-20.” Untuk seorang sutradara yang
membuat delapan buah film sepanjang karirnya (dengan hanya dua di
antaranya yang dipublikasikan secara luas di luar Jerman), secara tidak
biasa Riefenstahl mendapat nama besar dan reputasi mentereng yang tak
berkesudahan di sepanjang sisa hidupnya, yang sebagian besarnya
disumbang oleh kejayaan Triumph des Willens.
Di lain pihak, karirnya juga ‘rusak’ secara tidak langsung karena film
tersebut. Setelah Perang Dunia II usai, Riefenstahl dipenjarakan oleh
Sekutu selama empat tahun dengan tuduhan sebagai seorang simpatisan
Nazi, dan secara permanen di-blacklist oleh industri perfilman. Ketika dia meninggal dunia pada tahun 2003 (68 tahun setelah pemutaran perdana Triumph des Willens),
obituarinya menerima sambutan yang signifikan di banyak penerbitan
besar, termasuk Associated Press, Wall Street Journal, New York Times,
dan The Guardian (dengan kebanyakan di antaranya menegaskan kembali
peran penting Triumph des Willens
dalam sejarah dunia perfilman). Meskipun keefektifan Triumph des
Willens sulit diukur secara aktual, tapi dalam hal jumlah statistik
(yang biasanya disamakan dengan tingkat keefektifannya), penerimaan dari
masyarakat terdokumentasi dengan baik melalui jumlah besar orang yang
telah menontonnya dan juga popularitas film tersebut di masa tersebut.
Seperti The Birth of a Nation karya pembuat film Amerika D.W. Griffith, Triumph des Willens
dikritik sebagai sebuah film yang dibuat secara spektakuler demi
mempromosikan sebuah sistem yang secara umum dipandang sebagai tidak
etis. Di jerman sendiri, film ini dikategorikan sebagai propaganda Nazi
dan pemutarannya dibatasi secara ketat melalui hukum denazifikasi
pasca-perang (meskipun masih bisa ditampilkan hanya sebagai bahan
pembelajaran semata). Dalam pembelaannya, Riefenstahl mengklaim bahwa
dia masih ‘buta’ tentang Nazi saat membuatnya, dan tidak tahu sama
sekali tentang kebijaksaan pemusnahan Hitler. Dia juga menunjukkan bahwa
Triumph des Willens tidak
mengandung “satu pun kata-kata anti-Semit”, meskipun dia tetap
menampilkan satu pidato dari Julius Streicher bahwa “Sebuah bangsa yang
tidak melindungi kemurnian rasialnya akan musnah”. Bagaimanapun, Roger
Ebert memperhatikan bahwa bagi beberapa orang, “absennya faktor
antisemitisme dalam Triumph des Willens
tampak seakan-akan sebuah kalkulasi yang terencana; di luar dari motif
utama dari hampir semua pidato Hitler pastilah merupakan sebuah
keputusan pintar untuk membuat film ini lebih efisien lagi sebagai
sebuah mesin propaganda.”
Riefenstahl juga berulang kali membela dirinya dari tuduhan bahwa dia adalah seorang propagandis Nazi, dengan mengatakan bahwa Triumph des Willens memfokuskan diri pada gambar daripada ide-ide, sehingga seharusnya dipandang sebagai sebuah Gesamtkunstwerk (karya seni holistik). Pada tahun 1964 dia kembali pada topik ini dan mengatakan:
“Bila
anda melihat film ini lagi hari ini maka anda akan teryakinkan bahwa
film ini tidak mengandung adegan rekonstruksi satu pun. Semua hal di
dalamnya adalah nyata. Dan dia tidak mengandung komentar yang tendensius
pula. Dia adalah sejarah. Sebuah film sejarah murni... dia adalah
film-vérité. Dia merefleksikan kenyataan-kenyataan yang terjadi pada
tahun 1934 yang kini telah menjadi sejarah. Oleh karenanya dia adalah
sebuah dokumenter, dan bukan film propaganda. Oh! Tentu saja aku tahu
persis apa itu yang dinamakan sebagai sebuah propaganda. Dia akan
mengandung peristiwa-peristiwa yang dikreasikan kembali demi
menggambarkan sebuah tesis, atau, saat menghadapi peristiwa tertentu,
dia akan membiarkan satu hal berjalan secara terencana demi menonjolkan
hal lainnya. Aku menemukan bahwa diriku, aku, berada di jantung sebuah
peristiwa yang menjadi sebuah fakta nyata di masa dan tempat tertentu.
Film buatanku dibuat berdasarkan hal tersebut semata dan tidak yang
lainnya.”
Bagaimanapun, Riefenstahl adalah partisipan aktif dalam reli Nürnberg,
meskipun di tahun-tahun kemudian dia mengecilkan perannya sendiri
dengan mengklaim bahwa “Aku hanya mengamati dan mencoba memfilmkannya
sebaik mungkin. Ide-ide yang aku bantu merencanakannya sesungguhnya
adalah absurd belaka.” Ebert mengatakan bahwa Triumph des Willens
adalah “salah satu film dokumenter terbaik yang pernah dibuat,
berdasarkan pandangan umum yang berlaku”, meskipun dia menambahkan juga
bahwa karena film tersebut merefleksikan ideologi dari sebuah gerakan
yang dibilang orang banyak sebagai jahat, maka dia mengandung
“pertanyaan klasik tentang perlombaan antara seni dan moralitas: Apakah
memang disana terdapat hal yang dinamakan sebagai seni murni, atau
apakah semua seni merupakan pengejawantahan dari statemen politik?”
Ketika meresensi Triumph des Willens
untuk koleksi “Great Movies”-nya, Ebert memutar opininya sendiri dengan
mengatakan bahwa kesimpulannya yang pertama adalah “sebuah pandangan
yang diterima bahwa film tersebut adalah sebuah film yang bagus meskipun
mengandung kejahatan” dan mengatakannya sebagai “sebuah film yang
buruk, begitu membosankan, sederhana, terlalu panjang dan bahkan tidak
menampilkan sesuatu yang ‘memanipulasi’, karena dia terlalu janggal
untuk bisa memanipulasi siapapun kecuali orang yang benar-benar
percaya.”
Susan Sontag menggolongkan Triumph des Willens
sebagai “film propaganda paling murni dan paling sukses yang pernah
dibuat, yang gambaran utamanya telah meniadakan kemungkinan-kemungkinan
bahwa sang pembuat mempunyai konsep visual estetis independen dari
sebuah propaganda.” Sontag menekankan pada keterlibatan Riefenstahl
dalam perencanaan dan rancangan dari Reli Nürnberg
sebagai bukti bahwa Riefenstahl bekerja, bukan sebagai seorang seniman
dalam berbagai bentuknya, melainkan sebagai propagandis murni. Dengan
lebih dari 30 kamera dan 150 orang kru, setiap defile, parade, pidato
dan prosesi diorkestrasikan serinci mungkin sehingga menjadi sebuah set
background bagi film produksi Riefenstahl. Ini juga bukanlah film
“politik” pertama yang dibuat oleh Riefenstahl untuk Third Reich (sebagai pendahulunya adalah Victory of Faith, 1933, dan Day of Freedom, yang direkam tahun 1933 dan dikeluarkan tahun 1935) dan bukan pula yang terakhir (Olympia,
1938). “Setiap orang yang membela Riefenstahl dengan mengatakannya
sebagai sebuah film dokumenter,” kata Sontag, “maka bila dokumenter
kemudian dipisahkan dengan propaganda, maka dia pastilah tidak tulus
dalam melakukannya. Dalam Triumph des Willens, dokumen (image) tak lagi merupakan rekaman dari kenyataan; ‘kenyataan’ telah dibangun agar bisa membentuk image.”
Esai Brian Winston terhadap Triumph des Willens dalam The Movies as History: Visions of the Twentieth Century
(sebuah bungarampai dengan editor David Ellwood), secara luas merupakan
kritik terang-terangan terhadap analisis Sontag, yang dia katakan
sebagai ‘cacad’! Pokok utamanya
adalah bahwa setiap pembuat film dapat membuat filmnya terlihat
mengesankan karena memang rancangan upacara Nazi-nya dibuat sekeren
mungkin, terutama ketika mereka menyesuaikannya dengan penempatan
kamera. Dalam bentuknya, film ini menampilkan pengalihan adegan yang
berulang-ulang antara baris-berbaris dan pidato. Winston lalu menanyakan
pada para pembacanya apakah mereka lalu akan menggolongkan film semacam
ini sebagai film ‘pejalan-kaki’ semata? Seperti halnya Rotha, dia
menemukan bahwa Triumph des Willens
termasuk membosankan untuk ditonton, dan percaya bahwa siapapun yang
punya waktu untuk menganalisis strukturnya akan menemukan hal yang sama.
Kontroversi
pertama atas film ini muncul bahkan sebelum pemutaran perdananya,
ketika beberapa jenderal Wehrmacht protes keras terhadap begitu
sedikitnya kehadiran militer dalam film ini. Hanya satu adegan, defile
kavaleri Jerman, yang secara murni menampilkan Angkatan Perang Jerman.
yang lain-lainnya semata menampilkan kegiatan partai, yang jelas-jelas
bukanlah bagian dari militer. Hitler lalu mengusulkan sebuah kompromi
“artistik” bahwa Triumph des Willens
nantinya dibuka dengan gambar kamera yang secara lambat menyoroti
“pemandangan” barisan jenderal-jenderal (supaya dapat menenteramkan ego
masing-masing jenderal!). Berdasarkan pengakuannya sendiri, Riefenstahl
menolak saran dari Führernya
ini dan berkeras untuk mempunyai kontrol penuh terhadap filmnya tanpa
ada campur tangan yang lain. Tapi dia juga setuju untuk kembali
mengabadikan Reli Nürnberg
di tahun berikutnya (1935) dan membuat sebuah film yang secara ekslusif
menyoroti tentang Wehrmacht. Film ini nantinya diberi judul sebagai Tag der Freiheit: Unsere Wehrmacht.
Nicholas
Reeves menulis bahwa “banyak dari gambaran paling dikenal tentang Third
Reich dan Adolf Hitler diambil dari filmnya Riefenstahl ini.”
Banyak adegan Triumph des Willens yang digunakan dalam film box office Swedia Mein Kampf.
Ini membuat Riefenstahl mengajukan tuntutan hukum terhadap perusahaan
pembuatnya (Minerva) atas tuduhan pelanggaran hak cipta. Meskipun
kasusnya sendiri kemudian tidak mendapat putusan berarti dari hakim
pengadil, tapi dia tetap memenangkan kasusnya melawan distributor
Jerman. Dalam rangka untuk me-release film Mein Kampf,
distributor Jerman setuju untuk membayar Riefenstahl 30.000 Marks untuk
release di Jerman dan tambahan 5.000 Marks untuk release di Austria.
Pada tahun 1942 Charles A. Ridley dari Kementerian Informasi Inggris membuat sebuah film propaganda pendek berjudul Lambeth Walk yang merupakan editan dari klip-klip Hitler dan prajurit Jerman dari Triumph des Willens
sehingga membuatnya seakan-akan berdansa dan menari sesuai dengan irama
lagu “The Lambeth Walk”. Film sindiran ini membuat Joseph Goebbels
begitu murkanya sehingga dia sempat membuat ruangan kantornya berantakan
dan staff-nya stress akibat dari ngamuk sambil berteriak-teriak memaki
bagai orang kesurupan jin volker! Film Propaganda Sekutu ini
didistribusikan tanpa kredit terhadap perusahaan pembuat beritanya, yang
nantinya akan menambahkan narasi mereka masing-masing.
Triumph des Willens
juga telah dipelajari dan dijiplak oleh banyak artis kontemporer (dalam
upacara perkawinannya, Mick Jagger mengatakan pada Riefenstahl bahwa
dia sudah menonton filmnya sebanyak 15 kali!), termasuk oleh sutradara
kenamaan Peter Jackson dan Ridley Scott dalam film-film mereka. Film
pertama yang menggunakan gambaran film Triumph des Willens adalah The Great Dictator karya Charlie Chaplin, yang merupakan sebuah parodi dahsyat dari Nazi dan Hitler.
Sumber :
www.1001plus.blogspot.com
www.allcdcovers.com
www.blogpjvoice.com
www.cinemasights.wordpress.com
www.dvdbeaver.com
www.en.wikipedia.org
www.freecovers.net
www.lordnasebyblog.blogspot.com
www.morbidiculous.com
www.museum.walterfilm.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar