Oleh Komando Otto Skorzeny!
Benito
Mussolini dalam masa kejayaannya, tak lama setelah naik ke tampuk
kekuasaan di tahun 1922. Disini dia sedang mengunjungi pasukan
Bersaglieri Italia yang sedang berperang di Ethiopia, dengan komandannya
jenderal Alessandro Pirzio Biroli. Akhir dari hidupnya begitu
mengenaskan : digantung terbalik di lapangan kota Milan, diludahi,
ditendangi dan dihancurkan mukanya sampai tak terbentuk!
SS-Hauptsturmführer Otto Skorzeny, sang penolong Mussolini dalam Operasi penyelamatan di Gran Sasso. Begitu berharganya manusia satu ini, sehingga ketika perang usai jasanya dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang dulu merupakan musuh beratnya!
Sebelum operasi dimulai, Skorzeny menggembleng timnya dengan sepenuh hati agar menjamin hasil yang diraih tidak mengecewakan. Disini dia sedang melapor kepada panglima Fallschirmjäger, Jenderal Kurt Student. Sebagian besar anggota operasi ini memang diambil dari Fallschirmjäger-nya Luftwaffe, sementara Skorzeny sendiri berasal dari SS!
Tipikal dari seragam Fallschirmjäger anggota tim Skorzeny yang ditugaskan dalam operasi di Gran Sasso. Setelah kesuksesan operasi ini, mesin propaganda Goebbels memutuskan untuk mengadakan rekonstruksi penyelamatan Mussolini, dan prajurit satu ini termasuk yang ikut di antaranya. Operasi militer di Gran Sasso juga menandai penggunaan untuk pertama kalinya senjata yang khusus dipersembahkan untuk Fallschirmjäger, Fallschirmjägergewehr-42 (FG-42), seperti yang disandang di punggung prajurit di atas
Benito Mussolini berfoto bersama para penolongnya. Di sebelah kirinya adalah Hauptmann Gerhard Langguth dan Major Otto-Harald Mors dari Fallschirmjäger. Wajah pelawak dengan helm para yang nongol di antara Mors dan Mussolini kemungkinan besar adalah ajudan dari Otto Skorzeny, SS-Obersturmführer Karl Radl. Lah, Skorzenynya mana? Katanya minta izin dulu sebentar buat buang hajat di hotel!
Otto Skorzeny bersama dengan Benito Mussolini dan para "hulubalang" sedang menuju ke pesawat Fieseler Fi 156 "Storch" yang akan membawa mereka terbang dari Gran Sasso. Di sebelah kanan dari Mussolini adalah Jenderal Ferdinando Soleti, pengikut setia Mussolini
Hauptmann Heinrich Gerlach, sang pilot jagoan yang menerbangkan Fieseler "Storch" walaupun kelebihan muatan, dengan Mussolini yang gendut dan Skorzeny yang raksasa di dalamnya! Wajarlah untuk menghargai pencapaian luar biasa yang telah dilakukannya, Wehrmacht menganugerahinya dengan Ritterkreuz
Kalau anak buahnya saja mendapat Ritterkreuz, apalagi gembongnya! Disini Otto Skorzeny berpose bersama pujaannya sang Führer Adolf Hitler dalam acara penganugerahan Ritterkreuz nomor 2153 di Rastenburg yang berlangsung pada tanggal 13 September 1943
SS-Hauptsturmführer Otto Skorzeny, sang penolong Mussolini dalam Operasi penyelamatan di Gran Sasso. Begitu berharganya manusia satu ini, sehingga ketika perang usai jasanya dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang dulu merupakan musuh beratnya!
Sebelum operasi dimulai, Skorzeny menggembleng timnya dengan sepenuh hati agar menjamin hasil yang diraih tidak mengecewakan. Disini dia sedang melapor kepada panglima Fallschirmjäger, Jenderal Kurt Student. Sebagian besar anggota operasi ini memang diambil dari Fallschirmjäger-nya Luftwaffe, sementara Skorzeny sendiri berasal dari SS!
Tipikal dari seragam Fallschirmjäger anggota tim Skorzeny yang ditugaskan dalam operasi di Gran Sasso. Setelah kesuksesan operasi ini, mesin propaganda Goebbels memutuskan untuk mengadakan rekonstruksi penyelamatan Mussolini, dan prajurit satu ini termasuk yang ikut di antaranya. Operasi militer di Gran Sasso juga menandai penggunaan untuk pertama kalinya senjata yang khusus dipersembahkan untuk Fallschirmjäger, Fallschirmjägergewehr-42 (FG-42), seperti yang disandang di punggung prajurit di atas
Benito Mussolini berfoto bersama para penolongnya. Di sebelah kirinya adalah Hauptmann Gerhard Langguth dan Major Otto-Harald Mors dari Fallschirmjäger. Wajah pelawak dengan helm para yang nongol di antara Mors dan Mussolini kemungkinan besar adalah ajudan dari Otto Skorzeny, SS-Obersturmführer Karl Radl. Lah, Skorzenynya mana? Katanya minta izin dulu sebentar buat buang hajat di hotel!
Otto Skorzeny bersama dengan Benito Mussolini dan para "hulubalang" sedang menuju ke pesawat Fieseler Fi 156 "Storch" yang akan membawa mereka terbang dari Gran Sasso. Di sebelah kanan dari Mussolini adalah Jenderal Ferdinando Soleti, pengikut setia Mussolini
Hauptmann Heinrich Gerlach, sang pilot jagoan yang menerbangkan Fieseler "Storch" walaupun kelebihan muatan, dengan Mussolini yang gendut dan Skorzeny yang raksasa di dalamnya! Wajarlah untuk menghargai pencapaian luar biasa yang telah dilakukannya, Wehrmacht menganugerahinya dengan Ritterkreuz
Kalau anak buahnya saja mendapat Ritterkreuz, apalagi gembongnya! Disini Otto Skorzeny berpose bersama pujaannya sang Führer Adolf Hitler dalam acara penganugerahan Ritterkreuz nomor 2153 di Rastenburg yang berlangsung pada tanggal 13 September 1943
Benito
Mussolini, Il Duce yang pernah menjadi diktator yang sangat ditakuti,
adalah laki-laki angkuh dan pemurung. Ketika berhasil menguasai Italia
dan beberapa negara jajahannya, namanya bergema di seluruh daratan Eropa
selama lebih dari satu dasawarsa. Dengan dukungan kaum Fasis yang
senantiasa mengenakan baju hitam, ia membawa Italia menuju kancah
peperangan dahsyat. Kekuasaannya mulai ambruk ketika Perang Dunia II
pecah dan Tripoli jatuh pada tahun 1943. Para jenderal Italia yang
menyadari bahwa perang telah berakhir, menuntut agar Il Duce segera
menciptakan perdamaian. Namun, terpengaruh oleh mimpi-mimpi dahsyat
sekutu setianya, Adolf Hitler – yang pernah berjanji akan mengembalikan
kejayaannya – Mussolini membiarkan perang terus berlanjut. Dalam suatu
sidang yang berlangsung sengit bulan Juli 1943, Majelis Tinggi Italia
memutuskan pemecatan dan penahanan Mussolini, berdasarkan pemungutan
suara 28 lawan 19. Count Galeazzo Ciano, menantu Mussolini yang juga
Menteri Luar Negeri, termasuk yang memberikan suara bagi penahanan sang
diktator! Namun ia harus membayar mahal dengan nyawanya, meskipun Edda,
putri Mussolini, berusaha mati-matian membelanya.
Diktator
itu dihadapkan pada raja Italia. Mussolini yakin dapat membujuk raja
untuk membatalkan keputusan Majelis Tinggi . Ia tahu bahwa Victor
Emmanuel senantiasa ketakutan menghadapinya. Namun situasi telah
berubah. Dengan pucat raja menghardik Mussolini sambil menggigit
kuku-kukunya, “Engkau manusia paling bengis di negeri ini!” Maka
Mussolini diseret, dan dilarikan ke tempat pengasingan yang
dirahasiakan.
Selama
beberapa minggu berikutnya, ia digelandang dari satu penjara ke penjara
lain, sampai akhirnya ia mendapati dirinya di lantai atas bekas hotel
mewah di Gran Sasso, di daerah pegunungan Italia bagian tengah. Ia
dijaga ketat oleh Resimen Alpini, pasukan yang ketika bertugas di Afrika
Utara tak henti-hentinya bernyanyi “Bebaskan rakyat dari kekejaman
Mussolini, yang telah membawa Alpini ke ladang pembantaian”. Mereka
diperintahkan untuk tak segan-segan menembaknya seandainya tampak ada
pihak luar yang berusaha membebaskannya. Perintah semacam itu tentu saja
sangat menyenangkan mereka! Tetapi pertanyaannya : orang ‘gila’ mana
yang akan mencoba menyelamatkan Mussolini?
Ternyata
lokasi penyekapan Mussolini terpantau oleh intelijen Jerman. Mereka
segera mengirimkan seorang dokter tentara dengan dalih bangunan itu akan
digunakan untuk rumah sakit militer sementara. Ketika sang dokter baru
sampai di kaki pegunungan, sekelompok prajurit Alpini mencegat dan
menyuruhnya kembali. Tindakan inilah yang membuatnya yakin bahwa
Mussolini memang disekap disana. Dengan cepat ia menghubungi Berlin.
Staff Jenderal Jerman menghadapi dilema. Mereka menyampaikan kabar itu
kepada Hitler dan menambahkan bahwa operasi penyelamatan dalam bentuk
apa pun mustahil untuk dilakukan! Hitler naik pitam karena anak buahnya
mengeluarkan pendapat tanpa lebih dulu minta pertimbangannya. Pucat
menahan marah, Führer membentak, “Aku tak peduli. Mussolini temanku
harus diselamatkan!”
Dampratan Hitler membuat para jenderal membisu diam seribu bahasa.
“Tetapi,
Führerku...” ujar panglima Wehrmacht Wilhelm Keitel. Ia seketika
mengkerut melihat mata sang pemimpin yang memelototinya itu.
“Bebaskan dia! Secepatnya!” bentaknya lagi.
“Baik Führerku, tetapi bagaimana caranya?”
“Panggil Skorzeny!”
Ketika
Hitler meninggalkan ruangan, para jenderal saling berpandangan.
Skorzeny! Mengapa Führer memilih dia? Bukankah anak muda itu belum
tercatat bahkan sebagai anggota korps perwira?
Skorzeny,
lengkapnya SS-Hauptsturmführer (Kapten SS) Otto Skorzeny, ternyata
satu-satunya prajurit yang tepat untuk melaksanakan misi teramat sulit
itu. Seorang prajurit ulet dan tegar hati, yang berulang kali
membuktikan dirinya sebagai “orang yang paling berbahaya di seluruh
Wehrmacht”, dengan keberhasilannya sebagai pemimpin pasukan gerak cepat.
Orang berdarah Austria ini semula adalah ahli teknik sipil. Begitu
perang pecah, ia menjadi tokoh legendaris sekaligus mendapatkan dirinya
menjadi anak kesayangan sang Führer. Dengan enggan Keitel berpaling
kepada ajudannya, “Katakan kepada Hauptmann Skorzeny agar ia datang
melapor segera.”
Dua
puluh empat jam kemudian, Otto Skorzeny (yang hampir dua meter
tingginya!) turun merunduk-runduk dari pesawat Junkers Ju 52 Luftwaffe.
Ia bertanya-tanya kepada dirinya hal apakah yang membuat Marsekal Keitel
memanggilnya. Perintah yang ia terima singkat dan jelas saja, tak
mungkin lagi mengajukan pertanyaan atau membantah. “Lapor ke
Berchtesgaden segera. Diulang, segera. Atas perintah Führer!” Siapa yang
akan berani membiarkan sang Führer menunggu? Tentara bayaran yang
independen semacam dia pun tidak. Dalam sekejap ia akan bertatap muka
dengan Hitler. sekedar membayangkannya pun hatinya gentar. Adakah
seseorang yang ingin bertemu dengan Adolf Hitler? Perangainya sangat
cepat berubah. Suatu kali ia berbicara penuh humor, tetapi detik
berikutnya ia seperti orang sakit ingatan, tak bisa lagi mengendalikan
emosinya! Lagipula, Skorzeny membenci kue berlapis gula yang lengket,
yang agaknya merupakan satu-satunya cemilan kesukaan Hitler. Sekalipun
ia muda, sehat, dan tak pernah gugup, namun masih saja merasa ngeri
melihat sang Führer menelan pil dan obat penenang selama mereka
berbicara!
“Heil
Hitler!” tegap Skorzeny menghentakkan tumit sepatunya dan mengangkat
tangannya sebagai tanda hormat Nazi. Dengan malas lelaki berwajah letih
dan berpunggung bungkuk itu membalas penghormatan Skorzeny. Kilatan
matanya membuat orang bagaikan tersihir.
“Aku
ingin Mussolini dibebaskan,” ujarnya, “Karena pembebasannya akan
mempengaruhi keberhasilan tujuan kita. Kita membutuhkan dia untuk
mengerahkan orang-orang Italia yang masih setia kepada tujuan fasis.
Bebaskan dia. Bebaskan dia secepatnya!” Hitler kemudian membalikkan
punggung dan menatap tajam ke jendela kaca. Itu sebagai pertanda bahwa
audiensi telah selesai.
Skorzeny
segera meninggalkan ruangan dengan diikuti oleh Kolonel dari bagian
intelijen yang tampak memendam kekhawatiran. Perwira itu kemudian
menjelaskan rencana penyelamatan yang telah disusun dengan para jenderal
Wehrmacht. Meskipun diam-diam merasa yakin bahwa rencana tersebut akan
berujung pada kegagalan, mereka memberanikan diri mengharapkan sebersit
cahaya keberhasilan.
Ketika
Skorzeny bertanya apakah tugas yang dilimpahkan ke bahunya hanya
memiliki peluang kecil saja, ia menyadari bahwa lawan bicaranya tidak
mengatakan yang sebenarnya, meski jawaban yang diberikan cukup tegas,
“Ya!” Ada tebing curam di dekat lembah? “Ya!” Ada landasan untuk
mendaratkan pesawat terbang layang di lapangan rumput di belakang hotel?
“Ya!” Apakah diperlukan seorang pilot Jerman paling cakap dalam
menerbangkan pesawat layang? “Ya!” Adakah ruang cukup untuk tinggal
landas? “Tidak!” Apakah pesawat akan hancur berkeping-keping bila
tergelincir ke tebing? “Ya!”
Skorzeny
mewajibkan dirinya sendiri untuk mengeluarkan seluruh kepandaiannya
bertutur kata di depan anak buahnya dengan mengatakan bahwa misi mereka
tetaplah mempunyai peluang untuk berhasil. Diam-diam mereka pun mulai
bersiap-siap. Pagi hari tanggal 12 September 1943, sejumlah pesawat
terbang layang ditarik ke angkasa biru yang berhias mega-mega putih.
“Itu
dia!” Pilot harus berteriak agar suaranya mengimbangi deru mesin.
Skorzeny, dengan mengikuti tudingan telunjuk pilot, melihat sasaran
operasi – sebuah hotel mewah di ketinggian dua ribu meter, di lereng
gunung. Hotel yang berdiri di lembah pegunungan itu seakan hanya ada
dalam dongengan. Kereta gantung merupakan satu-satunya sarana yang
menghubungkannya ke dunia luar. Di sekelilingnya Skorzeny melihat
puncak-puncak bukit bersalju pegunungan Gran Sasso. Kengerian membayang
di matanya.
“Benar-benar
benteng yang kuat,” teriaknya. Pilot mengangguk. Ia tahu bahwa ia
adalah salah satu pilot pesawat layang terbaik di Jerman. Sebelum pecah
perang ia sering menerbangkan pesawat layangnya di pegunungan Harz, dan
dengan gerakan spiral menuju ke daerah arus panas. Ia pernah menyabet
rekor terbaik dalam ketahanan menerbangkan pesawat layang, dan menerima
trofi langsung dari tangan sang Führer. Kata-kata Hitler terngiang
kembali di telinganya : “Tak lama lagi kami akan membutuhkan orang
seperti kamu.” Kalau saja ia dapat melihat ke masa depan, bahwa kubu
Rusia pun merasa iri karena tidak memiliki orang sebaik dirinya!
Ia
menatap ke bawah dan mulutnya mulai mengatup. Butir-butir keringat
bergulir pelan lewat ujung hidungnya, meski hawa dingin di kokpit
menusuk tulang. Ia memperkuat cengkeramannya pada tangkai pengendali
pesawat, karena ia yakin sekejap lagi perutnya akan terasa mual. Ia juga
mendengar kata-kata Skorzeny, “Gila! Benar-benar tak bisa dipercaya!”
“Saya
kira intelijen tahu apa yang mereka lakukan,” teriaknya. Pilot tak
menjawab. Ia yakin Skorzeny pasti bersyaraf baja. Tak seorang pun
berpikir akan mendaratkan pesawat layang di jalur rumput yang begitu
sempit. Sementara itu perhatiannya tertuju pada kilatan cahaya yang
diberikan oleh pesawat Junkers Ju 52 di depan. “Siap untuk melepaskan
tali, komandan!” teriak pilot.
Sesaat
kemudian tali menegang ketika Junkers membelok, mendekati hotel.
Pesawat layang mengikutinya. Sekali lagi Junkers kembali terbang stabil,
lalu memperlambat kecepatan dan tali penariknya pun merenggang. “Yak,
lepaskan!” teriak pilot. Ia mulai kehilangan kecepatan. Angin menderu
sebentar, kemudian sepi. Pesawat penarik itu membelok tajam kembali ke
pangkalan induk. Terlihat nyala lampu sinyal.
“Mereka mengucapkan semoga berhasil, komandan!”
Pilot mulai bersiap mendaratkan pesawat lurus ke depan. “Pesawat mendarat dua menit lagi!”
Skorzeny
berpaling dan berteriak, “Periksa persenjataan.” Di belakangnya,
pasukan penyergap gerak cepat memeriksa mekanisme tembakan Schmeitzer
mereka, menyiapkan pisau komando dan meyakinkan diri apakah granat
mereka telah siap untuk digunakan. Tak seorang pun berbicara. Suasana
tegang. Lampu merah kembali menyala. Satu menit lagi mendarat.
Wajah-wajah suram itu tampak memburat oleh cahaya merah, sementara
jari-jemari erat menggenggam tali. Beberapa detik sebelum terdengar
decit-decit suara roda pesawat (yang berarti mereka telah mendarat
dengan selamat), selalu menimbulkan suasana mencekam. Dan saat-saat
seperti itu membuat mereka berpikir tentang berbagai kemungkinan
mengerikan. Bagaimana kalau pesawat terbalik, hidungnya menukik?
Bagaimana kalau bagian belakangnya hancur dan seluruh muatannya terkocok
dan remuk? Biasanya para “perencana” militer akan cermat memilih medan
pendaratan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya bahaya saat pesawat
mendarat. Namun ketika itu tak ada pilihan lain. Belum lagi kemungkinan
pesawat menabrak lereng gunung, menyimpang bermeter-meter ke kanan atau
meluncur keluar dataran berumput, dan dalam keadaan tak terkendali
terperosok ke jurang sedalam dua ribu meter!
Pilot
dengan terampil mengarahkan pesawatnya mendekati landasan, bagaikan
burung besar tanpa bersuara hinggap di hotel. Perlahan-lahan ia
mengendorkan tangkai kendali ketika hamparan menghijau tampak semakin
dekat.
Sekarang!
Ia menyentakkan tangkai kendali kembali dan hidung pesawat pun
mendongak. Pesawat mendaratkan perutnya dengan suara berdentam, lalu
meluncur seperti kepiting melintasi rumput. Hanya beberapa meter dari
hotel!
“Keluar!
Keluar!” Teriak Skorzeny di dekat pintu sementara pesawat masih
meluncur. Ia segera berlari menuju sekelompok tentara Italia yang
terperangah. Mau tahu apa yang sedang dilakukan para odong-odong ini?
Bermalas-malasan mandi matahari! Bingung, mereka hanya sempat
membelalakkan mata ketika seorang jenderal Italia, didampingi seorang
serdadu Jerman, menghampiri mereka sambil berteriak, “Jangan tembak!
Keadaan aman, jangan tembak.”
Panik,
para penjaga menurunkan senapan lalu melarikan diri. Skorzeny, bersama
tiga orang pasukan gerak cepat, berlari naik tangga menuju lantai
pertama tempat Mussolini disekap. Karena terkejut para serdadu Alpini
menurunkan senjata dan mengangkat tangan di atas kepala.
Mussolini
maju, menyalami para penyelamatnya dengan tangan gemetar. Sekalipun
wajahnya pucat, ia tak dapat menyembunyikan kegembiraan. “Aku yakin
kawanku Adolf Hitler tak meninggalkan diriku,” katanya. Tak sabar,
Skorzeny menariknya menuruni tangga, dan berlari ke lapangan rumput. Ia
terkejut melihat pesawat ringan yang menurut rencana akan mereka gunakan
ternyata rusak ketika melakukan pendaratan! Syukurlah pesawat cadangan,
sebuah Fieseler Storch yang dikemudikan oleh Hauptmann Heinrich
Gerlach, mendarat dengan mulus. Skorzeny mendorong Mussolini yang
mencoba memprotesnya, merunduk masuk ke dalam pesawat. Ia pun ikut
melompat ke dalamnya. Seketika pesawat penuh sesak. Kepala sang
“raksasa” SS membentur atap kabin pesawat. Sekilas ia menatap Mussolini.
Il Duce duduk dengan pucat ketika menyadari bahwa pesawat yang
ditumpanginya akan lepas landas di lapangan rumput bertabur batu, dan
berbatasan dengan lembah terjal!
Gerlach terkejut ketika melihat Skorzeny juga bersama mereka. “Anda juga disini? Tetapi...”
“Jika
Mussolini terbunuh, tak ada yang dapat kulakukan selain meledakkan
tubuhku sendiri dengan granat. Lebih baik aku mati bersamanya.”
Jawaban Skorzeny membuat Gerlach kurang senang dan mencoba mendebat. Namun Skorzeny menukas, “Cukup, ini perintah Führer.”
Gerlach
menghidupkan mesin hingga mencapai kekuatan penuh. Fieseler Storch
menerjang ke depan, menuju bibir jurang. Karena menabrak sebuah batu,
pesawat melambat sesaat. Pesawat itu nyaris tak dapat mengudara meski
akhirnya kecepatannya kembali menaik dan ia pun meluncur
menjauhi tepi jurang, dan terbang oleng. Untunglah perlahan-lahan
Gerlach mampu menguasai pesawatnya kembali. Setelah ia menarik nafas
lega, pesawat melesat menuju lapangan terbang Jerman di Aquila. Selama
beberapa saat ketiga orang itu diam, tak bersuara. Mereka sadar, jiwa
mereka nyaris melayang. Dari Aquila mereka terbang ke Wina, lalu menuju
Berlin. Mussolini tak bisa lagi menyembunyikan perasaannya.
Keangkuhannya kembali muncul ketika kemudian ia berjalan untuk menjabat
tangan Adolf Hitler. Acungan dua jempol sepantasnya diberikan kepada
Otto Skorzeny, sang pahlawan nomor satu Jerman, yang telah berhasil
membuktikan kemampuannya melaksanakan misi yang nyaris mustahil itu!
Dalam
operasi di Gran Sasso sendiri, hampir seluruh anggota tim Skorzeny
berasal dari,Fallschirmjäger (70 orang) kecuali 18 orang yang berasal
dari SS:
1. SS-Hauptsturmführer Otto Skorzeny
2. SS-Obersturmführer Ulrich Menzel
3. SS- Obersturmführer Karl Radl
4. SS-Untersturmführer Otto Schwerdt
5. SS-Untersturmführer Robert Warger
6. SS-Untersturmführer Andreas Friedrich
7. SS-Hauptscharführer Manns
8. SS-Oberscharführer Walther Gläsner
9. SS-Oberscharführer Paul Spitt*
10. SS Unterscharführer Hans Holzer
11. SS-Unterscharführer Bernhard Cieslewitz
12. SS Unterscharführer Robert Neitzel
13. SS-Rottenführer Herbert (?) Himmel
14. SS-Rottenführer Albert (?) Benz
15. Sfaeller or Gföller
16. Max Pföller
2. SS-Obersturmführer Ulrich Menzel
3. SS- Obersturmführer Karl Radl
4. SS-Untersturmführer Otto Schwerdt
5. SS-Untersturmführer Robert Warger
6. SS-Untersturmführer Andreas Friedrich
7. SS-Hauptscharführer Manns
8. SS-Oberscharführer Walther Gläsner
9. SS-Oberscharführer Paul Spitt*
10. SS Unterscharführer Hans Holzer
11. SS-Unterscharführer Bernhard Cieslewitz
12. SS Unterscharführer Robert Neitzel
13. SS-Rottenführer Herbert (?) Himmel
14. SS-Rottenführer Albert (?) Benz
15. Sfaeller or Gföller
16. Max Pföller
Penghargaan-penghargaan "kelas berat" yang diberikan pada anggota tim Skorzeny :
Ritterkreuz (4 orang)
1. Kurt Student 27.09.1943 (Eichenlaub no.305) sebagai General der Fallschirmtruppe dan komandan K.G. XI. Flieger-Korps (LL-Korps)
2. Otto Skorzeny 13.09.1943 sebagai SS-Hauptsturmführer der Reserve dan komandan SS-Sonderverband z.b.V. Friedenthal
3. Heinrich Gerlach 19.09.1943 sebagai Hauptmann dan Flugzeugführer dari K.G. XI. Flieger-Korps (pilot Fieseler Fi 156 "Storch")
4. Elimar Meyer 17.09.1943 sebagai Leutnant (Kr.O.) sebagai pilot glider dari i. d. III./LL-Geschwader 1
Deutsches Kreuz in Gold (7 orang)
1. Georg Freiherr von Berlepsch 01.11.1943 sebagai Oberleutnant dan Chef 1./Fsch.Jäg.Rgt 7 (1./Fsch.Jäg-Lehr.Btl)
2. Otto-Harald Mors 01.11.1943 sebagai Major i.G. dan komandan I./Fsch.Jäg.Rgt 7 (Fsch.Jäg-Lehr.Btl)
3. Gerhard Langguth 01.11.1943 sebagai Hauptmann dan Ic XI. Flieger-Korps (Verbandsführer)
4. Johannes Heidenreich 26.09.1943 sebagai Oberleutnant dan Staffelkapitän dari 12.(III.)/LL-Geschwader 1
5. Hans Neelmeyer 26.09.1943 sebagai Oberfeldwebel dan Pilot glider dari i. d. 12.(III.)/LL-Geschwader 1
6. Heiner Lohrmann 26.09.1943 sebagai Feldwebel dan Pilot glider dari i. d. 12.(III.)/LL-Geschwader 1
7. Gustav Thielmann 26.09.1943 sebagai Unteroffizier dan Pilot glider dari i. d. 12.(III.)/LL-Geschwader 1
1. Kurt Student 27.09.1943 (Eichenlaub no.305) sebagai General der Fallschirmtruppe dan komandan K.G. XI. Flieger-Korps (LL-Korps)
2. Otto Skorzeny 13.09.1943 sebagai SS-Hauptsturmführer der Reserve dan komandan SS-Sonderverband z.b.V. Friedenthal
3. Heinrich Gerlach 19.09.1943 sebagai Hauptmann dan Flugzeugführer dari K.G. XI. Flieger-Korps (pilot Fieseler Fi 156 "Storch")
4. Elimar Meyer 17.09.1943 sebagai Leutnant (Kr.O.) sebagai pilot glider dari i. d. III./LL-Geschwader 1
Deutsches Kreuz in Gold (7 orang)
1. Georg Freiherr von Berlepsch 01.11.1943 sebagai Oberleutnant dan Chef 1./Fsch.Jäg.Rgt 7 (1./Fsch.Jäg-Lehr.Btl)
2. Otto-Harald Mors 01.11.1943 sebagai Major i.G. dan komandan I./Fsch.Jäg.Rgt 7 (Fsch.Jäg-Lehr.Btl)
3. Gerhard Langguth 01.11.1943 sebagai Hauptmann dan Ic XI. Flieger-Korps (Verbandsführer)
4. Johannes Heidenreich 26.09.1943 sebagai Oberleutnant dan Staffelkapitän dari 12.(III.)/LL-Geschwader 1
5. Hans Neelmeyer 26.09.1943 sebagai Oberfeldwebel dan Pilot glider dari i. d. 12.(III.)/LL-Geschwader 1
6. Heiner Lohrmann 26.09.1943 sebagai Feldwebel dan Pilot glider dari i. d. 12.(III.)/LL-Geschwader 1
7. Gustav Thielmann 26.09.1943 sebagai Unteroffizier dan Pilot glider dari i. d. 12.(III.)/LL-Geschwader 1
Sumber :
Buku “True Adventures” oleh Bernard Brett
Tidak ada komentar:
Posting Komentar