SELAMAT DATANG DI BLOG BALTICS REBORN

Operasi Penyelamatan Benito Mussolini Di Gran Sasso

Oleh Komando Otto Skorzeny!

Benito Mussolini dalam masa kejayaannya, tak lama setelah naik ke tampuk kekuasaan di tahun 1922. Disini dia sedang mengunjungi pasukan Bersaglieri Italia yang sedang berperang di Ethiopia, dengan komandannya jenderal Alessandro Pirzio Biroli. Akhir dari hidupnya begitu mengenaskan : digantung terbalik di lapangan kota Milan, diludahi, ditendangi dan dihancurkan mukanya sampai tak terbentuk!


SS-Hauptsturmführer Otto Skorzeny, sang penolong Mussolini dalam Operasi penyelamatan di Gran Sasso. Begitu berharganya manusia satu ini, sehingga ketika perang usai jasanya dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang dulu merupakan musuh beratnya!


Sebelum operasi dimulai, Skorzeny menggembleng timnya dengan sepenuh hati agar menjamin hasil yang diraih tidak mengecewakan. Disini dia sedang melapor kepada panglima Fallschirmjäger, Jenderal Kurt Student. Sebagian besar anggota operasi ini memang diambil dari Fallschirmjäger-nya Luftwaffe, sementara Skorzeny sendiri berasal dari SS!


Tipikal dari seragam Fallschirmjäger anggota tim Skorzeny yang ditugaskan dalam operasi di Gran Sasso. Setelah kesuksesan operasi ini, mesin propaganda Goebbels memutuskan untuk mengadakan rekonstruksi penyelamatan Mussolini, dan prajurit satu ini termasuk yang ikut di antaranya. Operasi militer di Gran Sasso juga menandai penggunaan untuk pertama kalinya senjata yang khusus dipersembahkan untuk Fallschirmjäger, Fallschirmjägergewehr-42 (FG-42), seperti yang disandang di punggung prajurit di atas


Benito Mussolini berfoto bersama para penolongnya. Di sebelah kirinya adalah Hauptmann Gerhard Langguth dan Major Otto-Harald Mors dari Fallschirmjäger. Wajah pelawak dengan helm para yang nongol di antara Mors dan Mussolini kemungkinan besar adalah ajudan dari Otto Skorzeny, SS-Obersturmführer Karl Radl. Lah, Skorzenynya mana? Katanya minta izin dulu sebentar buat buang hajat di hotel!


Otto Skorzeny bersama dengan Benito Mussolini dan para "hulubalang" sedang menuju ke pesawat Fieseler Fi 156 "Storch" yang akan membawa mereka terbang dari Gran Sasso. Di sebelah kanan dari Mussolini adalah Jenderal Ferdinando Soleti, pengikut setia Mussolini


Hauptmann Heinrich Gerlach, sang pilot jagoan yang menerbangkan Fieseler "Storch" walaupun kelebihan muatan, dengan Mussolini yang gendut dan Skorzeny yang raksasa di dalamnya! Wajarlah untuk menghargai pencapaian luar biasa yang telah dilakukannya, Wehrmacht menganugerahinya dengan Ritterkreuz


Kalau anak buahnya saja mendapat Ritterkreuz, apalagi gembongnya! Disini Otto Skorzeny berpose bersama pujaannya sang Führer Adolf Hitler dalam acara penganugerahan Ritterkreuz nomor 2153 di Rastenburg yang berlangsung pada tanggal 13 September 1943


Benito Mussolini, Il Duce yang pernah menjadi diktator yang sangat ditakuti, adalah laki-laki angkuh dan pemurung. Ketika berhasil menguasai Italia dan beberapa negara jajahannya, namanya bergema di seluruh daratan Eropa selama lebih dari satu dasawarsa. Dengan dukungan kaum Fasis yang senantiasa mengenakan baju hitam, ia membawa Italia menuju kancah peperangan dahsyat. Kekuasaannya mulai ambruk ketika Perang Dunia II pecah dan Tripoli jatuh pada tahun 1943. Para jenderal Italia yang menyadari bahwa perang telah berakhir, menuntut agar Il Duce segera menciptakan perdamaian. Namun, terpengaruh oleh mimpi-mimpi dahsyat sekutu setianya, Adolf Hitler – yang pernah berjanji akan mengembalikan kejayaannya – Mussolini membiarkan perang terus berlanjut. Dalam suatu sidang yang berlangsung sengit bulan Juli 1943, Majelis Tinggi Italia memutuskan pemecatan dan penahanan Mussolini, berdasarkan pemungutan suara 28 lawan 19. Count Galeazzo Ciano, menantu Mussolini yang juga Menteri Luar Negeri, termasuk yang memberikan suara bagi penahanan sang diktator! Namun ia harus membayar mahal dengan nyawanya, meskipun Edda, putri Mussolini, berusaha mati-matian membelanya.
Diktator itu dihadapkan pada raja Italia. Mussolini yakin dapat membujuk raja untuk membatalkan keputusan Majelis Tinggi . Ia tahu bahwa Victor Emmanuel senantiasa ketakutan menghadapinya. Namun situasi telah berubah. Dengan pucat raja menghardik Mussolini sambil menggigit kuku-kukunya, “Engkau manusia paling bengis di negeri ini!” Maka Mussolini diseret, dan dilarikan ke tempat pengasingan yang dirahasiakan.
Selama beberapa minggu berikutnya, ia digelandang dari satu penjara ke penjara lain, sampai akhirnya ia mendapati dirinya di lantai atas bekas hotel mewah di Gran Sasso, di daerah pegunungan Italia bagian tengah. Ia dijaga ketat oleh Resimen Alpini, pasukan yang ketika bertugas di Afrika Utara tak henti-hentinya bernyanyi “Bebaskan rakyat dari kekejaman Mussolini, yang telah membawa Alpini ke ladang pembantaian”. Mereka diperintahkan untuk tak segan-segan menembaknya seandainya tampak ada pihak luar yang berusaha membebaskannya. Perintah semacam itu tentu saja sangat menyenangkan mereka! Tetapi pertanyaannya : orang ‘gila’ mana yang akan mencoba menyelamatkan Mussolini?
Ternyata lokasi penyekapan Mussolini terpantau oleh intelijen Jerman. Mereka segera mengirimkan seorang dokter tentara dengan dalih bangunan itu akan digunakan untuk rumah sakit militer sementara. Ketika sang dokter baru sampai di kaki pegunungan, sekelompok prajurit Alpini mencegat dan menyuruhnya kembali. Tindakan inilah yang membuatnya yakin bahwa Mussolini memang disekap disana. Dengan cepat ia menghubungi Berlin. Staff Jenderal Jerman menghadapi dilema. Mereka menyampaikan kabar itu kepada Hitler dan menambahkan bahwa operasi penyelamatan dalam bentuk apa pun mustahil untuk dilakukan! Hitler naik pitam karena anak buahnya mengeluarkan pendapat tanpa lebih dulu minta pertimbangannya. Pucat menahan marah, Führer membentak, “Aku tak peduli. Mussolini temanku harus diselamatkan!”
Dampratan Hitler membuat para jenderal membisu diam seribu bahasa.
“Tetapi, Führerku...” ujar panglima Wehrmacht Wilhelm Keitel. Ia seketika mengkerut melihat mata sang pemimpin yang memelototinya itu.
“Bebaskan dia! Secepatnya!” bentaknya lagi.
“Baik Führerku, tetapi bagaimana caranya?”
“Panggil Skorzeny!”
Ketika Hitler meninggalkan ruangan, para jenderal saling berpandangan. Skorzeny! Mengapa Führer memilih dia? Bukankah anak muda itu belum tercatat bahkan sebagai anggota korps perwira?
Skorzeny, lengkapnya SS-Hauptsturmführer (Kapten SS) Otto Skorzeny, ternyata satu-satunya prajurit yang tepat untuk melaksanakan misi teramat sulit itu. Seorang prajurit ulet dan tegar hati, yang berulang kali membuktikan dirinya sebagai “orang yang paling berbahaya di seluruh Wehrmacht”, dengan keberhasilannya sebagai pemimpin pasukan gerak cepat. Orang berdarah Austria ini semula adalah ahli teknik sipil. Begitu perang pecah, ia menjadi tokoh legendaris sekaligus mendapatkan dirinya menjadi anak kesayangan sang Führer. Dengan enggan Keitel berpaling kepada ajudannya, “Katakan kepada Hauptmann Skorzeny agar ia datang melapor segera.”
Dua puluh empat jam kemudian, Otto Skorzeny (yang hampir dua meter tingginya!) turun merunduk-runduk dari pesawat Junkers Ju 52 Luftwaffe. Ia bertanya-tanya kepada dirinya hal apakah yang membuat Marsekal Keitel memanggilnya. Perintah yang ia terima singkat dan jelas saja, tak mungkin lagi mengajukan pertanyaan atau membantah. “Lapor ke Berchtesgaden segera. Diulang, segera. Atas perintah Führer!” Siapa yang akan berani membiarkan sang Führer menunggu? Tentara bayaran yang independen semacam dia pun tidak. Dalam sekejap ia akan bertatap muka dengan Hitler. sekedar membayangkannya pun hatinya gentar. Adakah seseorang yang ingin bertemu dengan Adolf Hitler? Perangainya sangat cepat berubah. Suatu kali ia berbicara penuh humor, tetapi detik berikutnya ia seperti orang sakit ingatan, tak bisa lagi mengendalikan emosinya! Lagipula, Skorzeny membenci kue berlapis gula yang lengket, yang agaknya merupakan satu-satunya cemilan kesukaan Hitler. Sekalipun ia muda, sehat, dan tak pernah gugup, namun masih saja merasa ngeri melihat sang Führer menelan pil dan obat penenang selama mereka berbicara!
“Heil Hitler!” tegap Skorzeny menghentakkan tumit sepatunya dan mengangkat tangannya sebagai tanda hormat Nazi. Dengan malas lelaki berwajah letih dan berpunggung bungkuk itu membalas penghormatan Skorzeny. Kilatan matanya membuat orang bagaikan tersihir.
“Aku ingin Mussolini dibebaskan,” ujarnya, “Karena pembebasannya akan mempengaruhi keberhasilan tujuan kita. Kita membutuhkan dia untuk mengerahkan orang-orang Italia yang masih setia kepada tujuan fasis. Bebaskan dia. Bebaskan dia secepatnya!” Hitler kemudian membalikkan punggung dan menatap tajam ke jendela kaca. Itu sebagai pertanda bahwa audiensi telah selesai.
Skorzeny segera meninggalkan ruangan dengan diikuti oleh Kolonel dari bagian intelijen yang tampak memendam kekhawatiran. Perwira itu kemudian menjelaskan rencana penyelamatan yang telah disusun dengan para jenderal Wehrmacht. Meskipun diam-diam merasa yakin bahwa rencana tersebut akan berujung pada kegagalan, mereka memberanikan diri mengharapkan sebersit cahaya keberhasilan.
Ketika Skorzeny bertanya apakah tugas yang dilimpahkan ke bahunya hanya memiliki peluang kecil saja, ia menyadari bahwa lawan bicaranya tidak mengatakan yang sebenarnya, meski jawaban yang diberikan cukup tegas, “Ya!” Ada tebing curam di dekat lembah? “Ya!” Ada landasan untuk mendaratkan pesawat terbang layang di lapangan rumput di belakang hotel? “Ya!” Apakah diperlukan seorang pilot Jerman paling cakap dalam menerbangkan pesawat layang? “Ya!” Adakah ruang cukup untuk tinggal landas? “Tidak!” Apakah pesawat akan hancur berkeping-keping bila tergelincir ke tebing? “Ya!”
Skorzeny mewajibkan dirinya sendiri untuk mengeluarkan seluruh kepandaiannya bertutur kata di depan anak buahnya dengan mengatakan bahwa misi mereka tetaplah mempunyai peluang untuk berhasil. Diam-diam mereka pun mulai bersiap-siap. Pagi hari tanggal 12 September 1943, sejumlah pesawat terbang layang ditarik ke angkasa biru yang berhias mega-mega putih.
“Itu dia!” Pilot harus berteriak agar suaranya mengimbangi deru mesin. Skorzeny, dengan mengikuti tudingan telunjuk pilot, melihat sasaran operasi – sebuah hotel mewah di ketinggian dua ribu meter, di lereng gunung. Hotel yang berdiri di lembah pegunungan itu seakan hanya ada dalam dongengan. Kereta gantung merupakan satu-satunya sarana yang menghubungkannya ke dunia luar. Di sekelilingnya Skorzeny melihat puncak-puncak bukit bersalju pegunungan Gran Sasso. Kengerian membayang di matanya.
“Benar-benar benteng yang kuat,” teriaknya. Pilot mengangguk. Ia tahu bahwa ia adalah salah satu pilot pesawat layang terbaik di Jerman. Sebelum pecah perang ia sering menerbangkan pesawat layangnya di pegunungan Harz, dan dengan gerakan spiral menuju ke daerah arus panas. Ia pernah menyabet rekor terbaik dalam ketahanan menerbangkan pesawat layang, dan menerima trofi langsung dari tangan sang Führer. Kata-kata Hitler terngiang kembali di telinganya : “Tak lama lagi kami akan membutuhkan orang seperti kamu.” Kalau saja ia dapat melihat ke masa depan, bahwa kubu Rusia pun merasa iri karena tidak memiliki orang sebaik dirinya!
Ia menatap ke bawah dan mulutnya mulai mengatup. Butir-butir keringat bergulir pelan lewat ujung hidungnya, meski hawa dingin di kokpit menusuk tulang. Ia memperkuat cengkeramannya pada tangkai pengendali pesawat, karena ia yakin sekejap lagi perutnya akan terasa mual. Ia juga mendengar kata-kata Skorzeny, “Gila! Benar-benar tak bisa dipercaya!”
“Saya kira intelijen tahu apa yang mereka lakukan,” teriaknya. Pilot tak menjawab. Ia yakin Skorzeny pasti bersyaraf baja. Tak seorang pun berpikir akan mendaratkan pesawat layang di jalur rumput yang begitu sempit. Sementara itu perhatiannya tertuju pada kilatan cahaya yang diberikan oleh pesawat Junkers Ju 52 di depan. “Siap untuk melepaskan tali, komandan!” teriak pilot.
Sesaat kemudian tali menegang ketika Junkers membelok, mendekati hotel. Pesawat layang mengikutinya. Sekali lagi Junkers kembali terbang stabil, lalu memperlambat kecepatan dan tali penariknya pun merenggang. “Yak, lepaskan!” teriak pilot. Ia mulai kehilangan kecepatan. Angin menderu sebentar, kemudian sepi. Pesawat penarik itu membelok tajam kembali ke pangkalan induk. Terlihat nyala lampu sinyal.
“Mereka mengucapkan semoga berhasil, komandan!”
Pilot mulai bersiap mendaratkan pesawat lurus ke depan. “Pesawat mendarat dua menit lagi!”
Skorzeny berpaling dan berteriak, “Periksa persenjataan.” Di belakangnya, pasukan penyergap gerak cepat memeriksa mekanisme tembakan Schmeitzer mereka, menyiapkan pisau komando dan meyakinkan diri apakah granat mereka telah siap untuk digunakan. Tak seorang pun berbicara. Suasana tegang. Lampu merah kembali menyala. Satu menit lagi mendarat. Wajah-wajah suram itu tampak memburat oleh cahaya merah, sementara jari-jemari erat menggenggam tali. Beberapa detik sebelum terdengar decit-decit suara roda pesawat (yang berarti mereka telah mendarat dengan selamat), selalu menimbulkan suasana mencekam. Dan saat-saat seperti itu membuat mereka berpikir tentang berbagai kemungkinan mengerikan. Bagaimana kalau pesawat terbalik, hidungnya menukik? Bagaimana kalau bagian belakangnya hancur dan seluruh muatannya terkocok dan remuk? Biasanya para “perencana” militer akan cermat memilih medan pendaratan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya bahaya saat pesawat mendarat. Namun ketika itu tak ada pilihan lain. Belum lagi kemungkinan pesawat menabrak lereng gunung, menyimpang bermeter-meter ke kanan atau meluncur keluar dataran berumput, dan dalam keadaan tak terkendali terperosok ke jurang sedalam dua ribu meter!
Pilot dengan terampil mengarahkan pesawatnya mendekati landasan, bagaikan burung besar tanpa bersuara hinggap di hotel. Perlahan-lahan ia mengendorkan tangkai kendali ketika hamparan menghijau tampak semakin dekat.
Sekarang! Ia menyentakkan tangkai kendali kembali dan hidung pesawat pun mendongak. Pesawat mendaratkan perutnya dengan suara berdentam, lalu meluncur seperti kepiting melintasi rumput. Hanya beberapa meter dari hotel!
“Keluar! Keluar!” Teriak Skorzeny di dekat pintu sementara pesawat masih meluncur. Ia segera berlari menuju sekelompok tentara Italia yang terperangah. Mau tahu apa yang sedang dilakukan para odong-odong ini? Bermalas-malasan mandi matahari! Bingung, mereka hanya sempat membelalakkan mata ketika seorang jenderal Italia, didampingi seorang serdadu Jerman, menghampiri mereka sambil berteriak, “Jangan tembak! Keadaan aman, jangan tembak.”
Panik, para penjaga menurunkan senapan lalu melarikan diri. Skorzeny, bersama tiga orang pasukan gerak cepat, berlari naik tangga menuju lantai pertama tempat Mussolini disekap. Karena terkejut para serdadu Alpini menurunkan senjata dan mengangkat tangan di atas kepala.
Mussolini maju, menyalami para penyelamatnya dengan tangan gemetar. Sekalipun wajahnya pucat, ia tak dapat menyembunyikan kegembiraan. “Aku yakin kawanku Adolf Hitler tak meninggalkan diriku,” katanya. Tak sabar, Skorzeny menariknya menuruni tangga, dan berlari ke lapangan rumput. Ia terkejut melihat pesawat ringan yang menurut rencana akan mereka gunakan ternyata rusak ketika melakukan pendaratan! Syukurlah pesawat cadangan, sebuah Fieseler Storch yang dikemudikan oleh Hauptmann Heinrich Gerlach, mendarat dengan mulus. Skorzeny mendorong Mussolini yang mencoba memprotesnya, merunduk masuk ke dalam pesawat. Ia pun ikut melompat ke dalamnya. Seketika pesawat penuh sesak. Kepala sang “raksasa” SS membentur atap kabin pesawat. Sekilas ia menatap Mussolini. Il Duce duduk dengan pucat ketika menyadari bahwa pesawat yang ditumpanginya akan lepas landas di lapangan rumput bertabur batu, dan berbatasan dengan lembah terjal!
Gerlach terkejut ketika melihat Skorzeny juga bersama mereka. “Anda juga disini? Tetapi...”
“Jika Mussolini terbunuh, tak ada yang dapat kulakukan selain meledakkan tubuhku sendiri dengan granat. Lebih baik aku mati bersamanya.”
Jawaban Skorzeny membuat Gerlach kurang senang dan mencoba mendebat. Namun Skorzeny menukas, “Cukup, ini perintah Führer.”
Gerlach menghidupkan mesin hingga mencapai kekuatan penuh. Fieseler Storch menerjang ke depan, menuju bibir jurang. Karena menabrak sebuah batu, pesawat melambat sesaat. Pesawat itu nyaris tak dapat mengudara meski akhirnya kecepatannya kembali menaik dan ia pun meluncur menjauhi tepi jurang, dan terbang oleng. Untunglah perlahan-lahan Gerlach mampu menguasai pesawatnya kembali. Setelah ia menarik nafas lega, pesawat melesat menuju lapangan terbang Jerman di Aquila. Selama beberapa saat ketiga orang itu diam, tak bersuara. Mereka sadar, jiwa mereka nyaris melayang. Dari Aquila mereka terbang ke Wina, lalu menuju Berlin. Mussolini tak bisa lagi menyembunyikan perasaannya. Keangkuhannya kembali muncul ketika kemudian ia berjalan untuk menjabat tangan Adolf Hitler. Acungan dua jempol sepantasnya diberikan kepada Otto Skorzeny, sang pahlawan nomor satu Jerman, yang telah berhasil membuktikan kemampuannya melaksanakan misi yang nyaris mustahil itu!
Dalam operasi di Gran Sasso sendiri, hampir seluruh anggota tim Skorzeny berasal dari,Fallschirmjäger (70 orang) kecuali 18 orang yang berasal dari SS:
1. SS-Hauptsturmführer Otto Skorzeny
2. SS-Obersturmführer Ulrich Menzel
3. SS- Obersturmführer Karl Radl
4. SS-Untersturmführer Otto Schwerdt
5. SS-Untersturmführer Robert Warger
6. SS-Untersturmführer Andreas Friedrich
7. SS-Hauptscharführer Manns
8. SS-Oberscharführer Walther Gläsner
9. SS-Oberscharführer Paul Spitt*
10. SS Unterscharführer Hans Holzer
11. SS-Unterscharführer Bernhard Cieslewitz
12. SS Unterscharführer Robert Neitzel
13. SS-Rottenführer Herbert (?) Himmel
14. SS-Rottenführer Albert (?) Benz
15. Sfaeller or Gföller
16. Max Pföller
Penghargaan-penghargaan "kelas berat" yang diberikan pada anggota tim Skorzeny :
Ritterkreuz (4 orang)
1. Kurt Student 27.09.1943 (Eichenlaub no.305) sebagai General der Fallschirmtruppe dan komandan K.G. XI. Flieger-Korps (LL-Korps)
2. Otto Skorzeny 13.09.1943 sebagai SS-Hauptsturmführer der Reserve dan komandan SS-Sonderverband z.b.V. Friedenthal
3. Heinrich Gerlach 19.09.1943 sebagai Hauptmann dan Flugzeugführer dari K.G. XI. Flieger-Korps (pilot Fieseler Fi 156 "Storch")
4. Elimar Meyer 17.09.1943 sebagai Leutnant (Kr.O.) sebagai pilot glider dari i. d. III./LL-Geschwader 1

Deutsches Kreuz in Gold (7 orang)
1. Georg Freiherr von Berlepsch 01.11.1943 sebagai Oberleutnant dan Chef 1./Fsch.Jäg.Rgt 7 (1./Fsch.Jäg-Lehr.Btl)
2. Otto-Harald Mors 01.11.1943 sebagai Major i.G. dan komandan I./Fsch.Jäg.Rgt 7 (Fsch.Jäg-Lehr.Btl)
3. Gerhard Langguth 01.11.1943 sebagai Hauptmann dan Ic XI. Flieger-Korps (Verbandsführer)
4. Johannes Heidenreich 26.09.1943 sebagai Oberleutnant dan Staffelkapitän dari 12.(III.)/LL-Geschwader 1
5. Hans Neelmeyer 26.09.1943 sebagai Oberfeldwebel dan Pilot glider dari i. d. 12.(III.)/LL-Geschwader 1
6. Heiner Lohrmann 26.09.1943 sebagai Feldwebel
dan Pilot glider dari i. d. 12.(III.)/LL-Geschwader 1
7. Gustav Thielmann 26.09.1943 sebagai Unteroffizier
dan Pilot glider dari i. d. 12.(III.)/LL-Geschwader 1
Sumber :
Buku “True Adventures” oleh Bernard Brett

Tidak ada komentar:

Posting Komentar