SELAMAT DATANG DI BLOG BALTICS REBORN

Pertempuran El-Alamein (1942),

Penentuan Hegemoni Jerman di Afrika Utara!


Tentara Deutsche Afrikakorps (DAK) bersama tawanan pasukan Selandia Baru



Rommel dengan serius mempelajari peta-peta posisi lawan dan kawan selama berkecamuknya pertempuran El-Alamein



Tentara Jerman melihat melalui teropong gunting dalam pertempuran El-Alamein. Perhatikan jaring di sekeliling mukanya, yang berfungsi untuk mencegah serangan lalat dan nyamuk!



Buku tentang kedigdayaan Rommel dan Afrika Korps karangan George R. Bradford. Wajib baca!

Marder dari Flak Regiment 33 di medan El-Alamein



Prajurit ini masih sempat-sempatnya membaca menimba ilmu di kala waktu tenang pertempuran El-Alamein. Mungkin kalau prajurit TNI, waktu senggang ini dimanfaatkan dengan main gaple!



Peta pertempuran El-Alamein bersama dengan posisi pasukan-pasukan yang terlibat di dalamnya



Rommel bersama para perwira dari Artillerie Regiment 33 yang merupakan bagian dari Divisi Panzer ke-15



Rommel bersama anggota-anggota pasukan Afrika Korps di tahun 1942



General der Panzertruppe Wilhelm Ritter von Thoma menyerahkan diri pada Montgomery dalam fase akhir pertempuran El-Alamein. Sampai pada saat itu, Von Thoma adalah jenderal dengan pangkat tertinggi yang berhasil ditawan Sekutu!


Oleh : Alif Rafik Khan

Salah satu pertempuran paling terkenal dalam Perang Dunia Kedua dan yang dianggap sebagai konfrontasi terbesar abad ke-20 adalah Pertempuran El-Alamein. Operasi yang dimulai pada akhir Agustus 1942 dengan perintah akhir dari jenderal Erwin Johannes Eugen Rommel untuk merebut Mesir dan Terusan Suez akhirnya diselesaikan oleh serangan balasan oleh Jenderal Montgomery dua bulan kemudian.

Seperti halnya dalam banyak pertempuran, kejadiannya sendiri tidak banyak mempengaruhi. Tapi apa yang menjadi penyebab pertempuran itu sendiri ternyata yang paling banyak menentukan hasil akhirnya. Di Pertempuran El-Alamein ada tiga hal yang menjadi faktor yang secara langsung menentukan hasil dari kelangsungan pendudukan Jerman di Afrika Utara. Yang pertama adalah bahwa awal perang diputuskan pada bulan April 1942 ketika Hitler memveto suatu usul untuk merebut instalasi Angkatan Laut Inggris di pulau Malta.

Rommel sendiri mengusulkan suatu serangan gabungan antara pasukan parasut (Fallschirmjäger) dengan pasukan amfibi Jerman-Italia yang harus dilakukan demi menjaga garis suplai mereka di sepanjang Laut Tengah supaya dapat tetap utuh. Selanjutnya ia diingatkan akan kerugian sangat besar yang diderita ketika serangan yang sama bentuknya dilakukan untuk merebut pulau Kreta setahun sebelumnya. Hitler bukannya tidak simpati atas usulan dari jenderal kaporit eh favoritnya tersebut. Ia berjanji untuk meninjau rencana tersebut. Pada akhirnya Hitler berhasil membujuk Rommel untuk membatalkan rencana invasi atas Malta dengan menjanjikannya lebih banyak tank dan suplai, sebagai kompensasi, untuk meneruskan serangan terhadap Tobruk.

Kemudian setelah kemenangan Rommel di Tobruk, Hitler kembali membujuknya dengan memberikan pangkat Generalfeldmarschall (meskipun ini bukan berarti bahwa Rommel tidak pantas mendapatkan pangkat tersebut!). inilah kesalahan terbesar Hitler, saudara-saudara. Ia membiarkan Rommel menghantam pusat kekuasaan Inggris di Afrika (Mesir) tanpa mengamankan garis logistik yang merupakan pendukung utama kekuatan Deutsche Afrikakorps (DAK) atau yang biasa disingkat saja sebagai Afrika Korps.

Sementara itu, Perdana Menteri Inggris Winston Churchill telah kehilangan kepercayaannya terhadap kinerja jenderal Claude Auchinlek yang kerjaannya kalah melulu tiap bertemu dengan si “Serigala Padang Pasir” Rommel. Ia lalu menggantinya dengan jenderal Harold Alexander sebagai pimpinan tentara Inggris di Timur Tengah.

Ia juga memutuskan untuk mengangkat Letnan Jenderal William Gott sebagai panglima dari Eighth Army (Tentara Ke-8). Gott adalah seorang jago tua yang telah karatan makan asam garam dalam peperangan di gurun pasir dan telah merasakan bertempur dalam semua pertempuran besar Inggris dalam tahun-tahun sebelumnya. Dalam peristiwa ini, ternyata takdir telah mengulurkan tangannya dalam cara yang tidak terduga : ketika terbang ke Kairo untuk melaksanakan tugasnya, Gott tewas karena pesawat yang ditumpanginya ditembak jatuh oleh pesawat tempur Luftwaffe. Pada saat yang membingungkan itu, orang yang namanya akan menjadi sinonim dengan Eighth Army muncul ke permukaan. Dialah Letnan Jenderal Bernard Law Montgomery (biasa dipanggil Monty, bukan montir!). Dia terpilih untuk menggantikan Gott yang out-of-order sebagai panglima baru Eighth Army. Kini hierarki telah ditetapkan, jenderal Alexander yang membuat keputusan-keputusan strategis sementara Montgomery yang melaksanakannya secara taktis. Inggris akhirnya memperoleh suatu kombinasi yang ideal dengan harapan supaya pada akhirnya mereka dapat memetik kemenangan melawan Afrika Korps di bawah pimpinan Rommel yang selama ini seakan tak terkalahkan.

Kedua orang inilah (Rommel dan Montgomery) yang akan menjadi pelakon utama babakan perang di Afrika selanjutnya. Karena itu boleh lah kita kemukakan sedikit tentang mereka :

Generalfeldmarschall Erwin Rommel merupakan sumber mitos yang tumbuh di sekitar Korps Afrika Jerman maupun  pada dirinya sendiri. Ia menonjol sebagai tokoh utama yang telah mendesak dan didesak, melintas dan dilintasi di gurun pasir, tetapi selalu mampu bertahan unutk kemudian menyerang balik musuhnya pada titik-titik yang tidak terduga. Seperti jenderal-jenderal brilian dalam sejarah, Rommel tidaklah cukup memerintah pasukannya dari balik meja di markasnya yang nyaman dan jauh dari front, tetapi sebaliknya, selalu berkeliaran di front-front terdepan untuk mengontrol langsung jalannya pertempuran. Dahsyatnya orang ini, walaupun beberapa kali hampir direnggut maut, Rommel selalu berhasil selamat hanya untuk menyaksikan para prajurit dan perwira di sampingnya tewas tertembak peluru atau terkena bom!

Barangkali Rommel tahu bagaimana caranya memberi komando : yakni dari garis depan. Ia diketahui suka mengejek jenderal-jenderal Inggris yang selalu memberi komando dari belakang dengan mengandalkan informasi tangan kedua mengenai peristiwa yang sesungguhnya terjadi di medan perang. Prajurit Jerman dari Afrika Korps sudah terbiasa melihat panglima mereka berada di tengah gurun di pos komandonya, atau terbang dengan pesawat pengintai ringannya (Fieseler ‘Storch’ Fi-156). Bentuk keakraban seperti itu kemudian diterapkan oleh Montgomery, dan ternyata sangat cocok di Eighth Army. Rommel juga adalah seorang “pengambil resiko”. Namun ia bukan lagi Rommel yang sama pada permulaan perang di Afrika Utara, tetapi seorang yang sakit parah dan sangat membutuhkan istirahat. Cukuplah sebagai bukti, terlihat dari foto-foto yang diambil pada periode ini, yang memperlihatkan wajah Rommel yang kurang tidur, terlihat lemas dan kelelahan yang sangat (bila tidak percaya, saya punya foto-foto semacam itu. Yang ingin melihat bisa menghubungi e-mail saya di : alifrafikkhan@gmail.com).

Walaupun dokternya mengatakan bahwa ia masih mampu memimpin pasukannya, namun dokter yang sama juga menekankan pada sang Generalfeldmarschall untuk menjalani perawatan medis lebih lanjut dan, terutama, istirahat dalam suatu periode tertentu. Ini semua harus dilakukan jika Rommel memang ingin meng-upgrade kesehatannya yang makin menurun dari waktu ke waktu. Akhirnya pada malam dimulainya pertempuran Alam El-Halfa pada tanggal 30 Agustus 1942, dokter pribadi Rommel dan kepala stafnya mengirimkan telegram ke komando tertinggi Jerman (OKW, Oberkommando der Wehrmacht), yang memberitahukan bahwa Rommel menderita sakit perut kronis, katarak intestin, diphteria hidung, dan beberapa gangguan peredaran darah. Menurut pendapat mereka, Rommel tidak fit sebagai pimpinan dan keadaan kesehatannya mempunyai efek yang pasti terhadap jalannya pertempuran.

Jenderal Montgomery, yang tak biasa dianggap orang baru di medan perang, mulai mengecek kekuatan Eighth Army segera sesudah penugasannya yang mendadak. Ada dua kelebihan Montgomery. Pertama, ia seorang dengan watak ekstrovert (lebih mementingkan lahir daripada batin. Penjelasan dari primbon.com), yang menjadikan dia populer di kalangan bawahannya maupun umum. Kedua, dan ini jauh lebih penting, adalah pengalamannya dalam Perang Dunia Pertama. Sebagai seorang perwira muda dalam perang itu, ia tahu apa arti bertempur dalam suatu medan perang yang langsung berhadap-hadapan dengan musuh.

Kembali kepada garis besar situasi ketika itu. Keputusan kritis ketiga telah diambil oleh Montgomery. Setelah ia berhasil memukul kembali Rommel dan menstabilkan front, ia akan menghadapi kekuatan Poros (Axis, Jerman dan sekutunya Italia) hanya menurut syarat-syaratnya dan pada waktu ia siap. Dalam catatan sir William Jackson mengenai pertempuran di El-Alamein, dikemukakan bahwa Montgomery menekankan sepuluh hal dalam kebijakan rekonstruksi Eighth Army. Walaupun semua dari 10 hal tersebut sama pentingnya, beberapa di antaranya jauh lebih menonjol dari yang lainnya dan merupakan kunci dari sukses. Pertama, bahwa keinginan pasti kalau Eighth Army selalu siap untuk bergerak dan bertempur, dan siap untuk mengambil manfaat dalam situasi apapun yang mungkin timbul di medan perang. Ia membentuk apa yang dinamakannya dengan Corps de Chasse. Korps ini dibentuk dari X Corps  pada Eighth Army dengan komplemen persenjataan beratnya yang mampu menghadapi Afrika Korps dengan syarat mereka sendiri.

Langkah berikutnya adalah menuntut tidak boleh gagal, baik dalam aspek logistik maupun operasional yang merupakan akibat dari mismanagement dan koordinasi yang lemah. Mereka yang tidak sesuai dengan standar profesional atau yang menyatakan tidak mampu mengemban tugasnya lalu dipindahkan dari posisi mereka secepat mungkin. Monty membiarkan setiap orang tahu jika seseorang tidak mencapai taraf yang dikehendakinya, maka akan selalu ada orang lain yang lebih siap untuk menggantikannya. Ia menekankan bahwa perintah adalah perintah dan ia akan memberikan mereka pengharapan bahwa perintah itu akan dapat dilaksanakan tanpa bertanya.

Pada tengah malam tanggal 30 Agustus 1942, Rommel melancarkan serangannya terhadap posisi Inggris di sekitar Alamein, jalur Ruweisat, Ragil Depression dan jalur El Halfa. Serangan itu dimaksudkan sebagai suatu manuver untuk menyapu dari selatan dengan tujuan mendesakkan kekuatannya sedalam mungkin, kemudian menuju ke utara dan ke arah laut memotong garis komunikasi Inggris, jalur mundur, dan menjebak sebagian besar dari Eighth Army.

Gerakan ini bukan merupakan suatu kejutan besar bagi Montgomery, bahkan menyambutnya dengan baik. Monty telah memperkirakan segera setelah ia mengambil alih komando bahwa Rommel akan segera melakukan manuver seperti itu, dan ia menyiapkan Eighth Army dengan kemungkinan yang terjadi. Seperti telah disebutkan sebelumnya, Rommel bulan Agustus 1942 bukanlah Rommel seperti sebelumnya L, dan serangan itu kurang kreatif seperti yang pernah ditunjukkannya dalam pertempuran-pertempuran Afrika terdahulu. Serangan itu menunjukkan bahwa Rommel mengharapkan gerakan berjalan terus sampai mereka mencapai Gabala pada dinihari.

Karena banyak bahan bakar yang dihabiskan dalam membersihkan ranjau-ranjau yang ditanam Inggris di sepanjang jalur serangan, sehingga mengakibatkan ia harus mengurangi waktu melakukan manuver di sekitar daerah sulit tersebut dan mengalihkan kekuatannya ke utara sebelum ia siap melakukannya. Dalam melakukannya, Rommel merasa bahwa ia akan dapat menyelamatkan dirinya dengan cara menarik kembali serangannya. Mungkin yang dapat dicapai dengan manuvernya adalah mengganggu Eighth Army dari keseimbangan dan mencegahnya mencapai kemenangan.

Ketika dinihari merekah, panzer-panzer Jerman bergerak langsung ke jalur Alam El-Halfa, sepertinya menuju langsung ke telapak tangan Montgomery. Begitu cahaya pagi pertama mencorong, pesawat-pesawat tempur RAF mengudara dari sarangnya dan melancarkan pukulan berat terhadap pasukan Jerman. Juga konsentrasi persenjataan Montgomery yang telah dipendam di jalur itu telah menimbulkan korban besar bagi pasukan Jerman hari itu. Artileri Inggris berhasil mengatasi posisi Jerman, dan menurut sebuah sumber Jerman, setiap tembakan dari mereka diimbangi oleh sepuluh tembakan dari Inggris!

Selama tiga hari Rommel dan Korps Afrikanya mencoba sekuat tenaga untuk mencapai posisi yang lebih baik di sepanjang front, tetapi usaha mereka selalu berujung pada kesia-siaan. Pada tanggal 3 September Rommel menarik mundur pasukannya ke garis dari mana mereka memulai serangan. Satu faktor utama yang menjadikan Rommel mengalami frustasi selama pertempuran itu adalah panzer-panzer Jerman yang bergerak dalam pertempuran. Inggris menempatkan tank-tanknya dalam posisi tersembunyi sehingga hanya mengalami sedikit kerugian pada peralatan senjata artileri dan hanya beberapa anggota pasukannya yang terluka!

Dengan selesainya pertempuran di Alam El-Halfa, Montgomery menyadari bahwa ia dapat menerapkannya sebagai latihan dan persiapan bagi pasukannya untuk melaksanakan Operation Lightfoot (Operasi Kaki Ringan. Nggak tahu tuh Monty dapat inspirasi dari mana buat nama ini!) yang tercatat sebagai pertempuran El-Alamein, walaupun sesungguhnya operasi tersebut merupakan pertempuran El-Alamein babak kedua.

Bahkan rencana yang telah diubah tersebut dianggap terlalu berat bagi kebanyakan panglima pasukan Montgomery. Sekali lagi seperti yang telah berkali-kali terjadi dalam sejarah Eighth Army, semua panglima pasukan mendatangi Monty untuk mengeluh tentang jadwal waktu!

Para panglima pasukan tank terutama mengeluh tentang penerobosan pasukan infanteri dua malam berturut-turut, yang seharusnya dapat membersihkan medan ranjau. Montgomery percaya bahwa itu hanya menghabiskan waktu satu malam dan mengatakan pada mereka agar tidak usah khawatir karena tank-tank mereka tidak akan terjebak di medan terbuka pada siang hari. Walaupun mereka terus mengajukan protes, Montgomery menolak untuk mengubah rencana yang telah dibuatnya.

Bagi kubu Jerman, dua hal menjadi sangat nyata. Pertama, situasi logistik menjadi sangat kritis. Kedua, kerugian Jerman di medan Alam El-Halfa lebih besar, baik peralatan maupun personil, dibandingkan dengan apa yang dapat dipikul oleh Rommel. Karena itu, garis pertahanan Jerman diperkuat dengan medan ranjau yang njelimet, yang diberi julukan sebagai “Kebun Setan”. Medan ranjau itu bukanlah medan ranjau biasa, melainkan hampir seluruh medan dan sebagian besar ranjau dilengkapi dengan booby trap, hingga tak dapat disingkirkan oleh pasukan penyapu ranjau. Di belakang sistem medan ranjau yang rapat itu telah menunggu pasukan infanteri dan posisi-posisi anti-tank tersembunyi.

Untuk memantapkan unit Italia yang sering loyo, pasukan Jerman disebarkan di antara mereka. Pada garis berikutnya adalah pertahanan artileri yang ditunjang oleh kelompok kecil pasukan Jerman dan Italia yang dimaksudkan untuk menutup lubang jika terjadi penerobosan oleh pihak musuh.

Walaupun Rommel tidak ingin pasukan-pasukan lapis bajanya tersebar dalam kelompok-kelompok kecil, ia pun tak mampu untuk menggerakkan mereka dalam suatu cadangan besar yang mobil, dapat bergerak dengan mudah, karena kekurangan bahan bakar yang akut dan ancaman serangan dari pesawat-pesawat tempur RAF yang jumlahnya semakin besar dari waktu ke waktu. Setidaknya, Rommel berhasil menyiapkan satu divisi cadangan. Divisi Cadangan itu adalah Divisi Ringan ke-90, yang digabung dengan Divisi Mekanik Trieste (Italia). Unit ini ditahan di sepanjang jalan pantai agar Rommel dapat menjaga jalur suplai utamanya, dan untuk mengurangi kemungkinan pendaratan mendadak amfibi dari belakang garis pertahanan Jerman.

Tak ada satupun yang dapat dilakukan oleh Rommel kecuali menunggu. Tetapi karena laporan intelijen Jerman meramalkan bahwa serangan Inggris tidak akan dimulai sampai akhir bulan November, Rommel dikirim ke Jerman sesuai dengan saran dukun eh dokternya untuk istirahat dan penyembuhan. Seorang jenderal pasukan Panzer, Georg Stumme dari front Timur dikirim untuk menggantikannya sementara, dan jenderal Wilhelm Ritter von Thoma mengambil alih pimpinan Deutsche Afrikakorps.

Sesuai dengan kebiasaan yang telah ada sebelumnya di gurun, staf dari Stumme memberi nasihat kepadanya untuk memulai persiapan di sektor selatan guna menghadapi serangan Inggris. Operation Lightfoot tidak begitu berbeda dari operasi-operasi lainnya yang telah dikonsep oleh para panglima Inggris sebelumnya di Afrika. Berdasarkan keyakinan tersebut, maka untuk menghancurkan Afrika Korps pertama-tama yang harus dilenyapkan adalah pasukan angkatan daratnya. Sekarang Operation Lightfoot mempunyai unsur baru : bukan menyerang dari arah selatan, bergerak sejajar dengan kekuatan-kekuatan musuh, mencapai lambung, kemudian maju ke arah utara menuju laut dan menjebak kekuatan Jerman. Montgomery memutuskan bahwa serangan utama akan dilakukan di utara. Corps de Chasse yang baru saja dibentuk akan mematahkan garis-garis lateral Rommel (komunikasi dan suplai), sehingga akan memaksa pihak Jerman untuk segera melibatkan pasukan tanknya demi menutup celah dari mata rantai yang terancam oleh musuh.

Untuk mencapai itu semua, Montgomery memutuskan untuk mematahkan pertahanan Jerman di dua tempat. Di utara dengan Letnan Jenderal Leese dari Korps XXX yang dibentuk dari empat divisi infanteri, merupakan serangan pendahuluan dan utama dalam usaha penerobosan. bila sasaran yang dikenal sebagai Report line oxalic telah dicapai, maka suatu kelompok yang amat khusus dari para teknisi yang digabungkan pada Divisi Lapis Baja Pertama bersama Divisi Lapis Baja ke-10 akan menerobos untuk merebut sasaran mereka. Dikenal sebagai report line skinflint, sasaran itu adalah suatu jalur di belakang jalur Rahman dan di selatan sampai Tel El-Aqqaqir. Pada posisi itulah, dengan keuntungan elevasi lebih tinggi, pasukan tank Inggris akan menghancurkan panzer-panzer Afrika Korps ketika mereka maju menyongsong manuver Inggris di wilayah itu.

Usaha penerobosan kedua akan dilakukan di selatan oleh Korps XIII pimpinan Letnan Jenderal Brian Hoorock, dan tidak memiliki sasaran tertentu kecuali sebagai suatu serangan pengalihan perhatian. Juga untuk menjadikan kekuatan Axis tetap berada di sektor selatan dan terpaku pada posisi mereka karena sibuk melayani serangan Inggris, sehingga tidak akan mampu bergerak ke utara menghadapi kekuatan utama Inggris.

Pada tahap itu, baik infanteri maupun pasukan tank akan menghancurkan posisi defensif musuh dan melakukan serangan yang telah direncanakan secara hati-hati terhadap pertahanan Jerman, ditunjang oleh artileri maupun skuadron-skuadron udara RAF. Akhirnya, begitu Afrika Korps menjelang pecah berantakan, unit tank Inggris melakukan pukulan terakhir untuk menerobos bukan saja wilayah belakang musuh, tetapi juga memotong jalur-jalur penarikan mundur Jerman dari medan perang.

Akhirnya, tanggal 23 Oktober 1942 pukul 21.40, seluruh front diledakkan dengan tembakan artileri selama 15 menit. Pihak Inggris melakukan begitu banyak penembakan artileri untuk ofensif hingga  beberapa staf Jerman membandingkannya dengan penyerangan yang sering terjadi di front Timur. Tembakan artileri selama 15 menit tersebut bertujuan utamanya untuk mengganggu kesatuan Axis, dan juga untuk menghancurkan posisi-posisi dari artileri maupun anti-tank.

Dengan menggunakan sejumlah besar meriam yang dipunyai, diharapkan bahwa satu jalur “kebun setan” dapat dibersihkan.

Tiba-tiba tembakan-tembakan meriam Inggris bungkam. Dan selama lima menit tidak terdengar suatu apapun di gurun. Pada pukul 22.00 meriam-meriam memuntahkan lagi tembakan-tembakannya dan pos-pos terdepan Jerman di semua front mengirim berita radio ke eselon komando berikutnya, bahwa serangan yang sudah lama ditunggu-tunggu kini telah dimulai!

Sepanjang malam terjadi penundaan demi penundaan yang terpaksa harus dihadapi oleh pasukan Inggris. Tank Scorpion yang dirancang secara khusus untuk membersihkan medan ranjau, mogok setiap menempuh jarak 100 meter! Infanteri, yang bertugas untuk mengamankan dan membersihkan jalur-jalur itu dari ranjau, ternyata menghadapi sesuatu yang tak mungkin. Bukan hanya karena terlalu banyaknya ranjau, tetapi juga karena sejumlah besar adalah ranjau yang dirancang untuk tak dapat dinon-aktifkan begitu saja. Dalam beberapa kasus mereka bahkan menemukan ranjau di atas ranjau, yang akan meledakkan lapisan kedua jika mereka hendak menyingkirkan yang pertama!

Pada dinihari tangga 24 Oktober 1942, Divisi Tank pertama Inggris di koridor utara hanya berada setengah perjalanan dari sasarannya, sementara Divisi Tank ke-10 hampir selesai membersihkan empat jalur ke salah satu sasaran utama mereka, yakni jalur Miteirya. Malangnya untuk Divisi ke-10, sisi lain dari jalur tersebut juga dipenuhi oleh ranjau!

Di sepanjang front, Montgomery menerima laporan-laporan dari para panglima lapangan yang menjadi panik, karena penerobosan tidak berhasil. Sesudah mempelajari situasi, Montgomery memutuskan untuk menunda tahap penerobosan 24 jam, dengan pengharapan begiru hari menjadi gelap tanggal 24 Oktober itu, maka kerugian-kerugian yang harus dideritanya akibat tembakan-tembakan terpadu artileri Jerman beserta anti-tanknya tidak akan terlalu parah seperti saat ini.

Sekali lagi takdir menjulurkan tangannya bagi keuntungan Monty, ketika jenderal Stumme, yang seperti halnya Rommel yang percaya bahwa mustahil untuk menjalankan operasi dari belakang meja, bergerak maju menuju garis depan bersama stafnya untuk menilai situasi. Sesudah memasuki wilayah yang terkena tembakan berat, supirnya menjadi kehilangan arah dan menuju ke sasaran tembakan senapan mesin Inggris! Komandan intelijen dari Stumme tertembak mati saat itu juga dan Stumme, yang jatuh dari kendaraannya, meninggal karena serangan jantung. Beberapa hari berlalu sebelum komando tertinggi Jerman mengetahui nasibnya, dan jenderal Von Thoma mengambil alih pimpinan untuk sementara pada tanggal 24 Oktober.

Pada malam tanggal 24 Oktober, para teknisi Inggris mulai bekerja sekali lagi membersihkan ranjau-ranjau. Pada pukul 22.00, ketika pesawat-pesawat udara RAF dan Luftwaffe bersama-sama menjatuhkan bom-bom suar di medan pertempuran, sebuah pesawat Jerman terkena tembakan penangkis udara dan kehilangan muatan bomnya di atas kendaraan-kendaraan dari Divisi Tank ke-10 Inggris. Ledakan-ledakan dan nyala api menerangi langit gurun sehingga tiap meriam Jerman melepaskan tembakan yang terkonsentrasi sehingga menyebabkan kacau balaunya Divisi Tank ke-10 plus markas besarnya!

Dengan begitu banyak hal yang tidak dikehendaki terjadi, para staf Montgomery memintanya untuk mengakhiri pertempuran. Para panglima pasukan tank mengkhawatirkan tank mereka akan terjebak di medan terbuka bila pagi tiba, dan semua pasukan front terdepan siap untuk menyerah dan mundur. Pada saat krusial inilah Montgomery mengambil keputusan yang mempengaruhi bukan saja seluruh pertempuran di medan perang Afrika Utara, tapi juga kelanjutan perang selanjutnya. Ia mengeluarkan perintah bahwa object line pierson akan direbut pada pagi harinya oleh kesatuan-kesatuan tanknya.

Montgomery memberi tahu pada para panglimanya bahwa jika mereka tidak tunduk kepada perintahnya, maka ia akan mencari orang lain untuk menggantikan mereka. Untuk pertama kali Eighth Army sadar dimana mereka berdiri dan Montgomery memang seorang pemimpin yang mereka cari-cari selama ini.

Ketika sekali lagi matahari mencorong, pasukan-pasukan tank Inggris pun menyerbu di medan terbuka hingga mampu bergabung dengan unit-unit infanteri di depan, dan memulai tahap dogfight dari operasi itu. Walaupun tahap penerobosan itu tidak sepenuhnya sukses, Montgomery merasa ia tidak bisa memboroskan waktu lagi, dan memutuskan untuk meneruskan rencana semampunya.

Tahap dogfight pun dimulai. Di semua garis, baik infanteri maupun tank langsung menghadapi musuh. Keunggulan pihak Inggris dengan tank jarak jauh makin membantu. Secara logistik Eighth Army harus menjaga pasukan garis depannya dengan menggerakkan kendaraan melalui medan ranjau yang demikian banyak dan belum dibersihkan. Walaupun sektor selatan dan utara nampaknya menunjukkan tanda bahwa mereka sedang maju ke depan, cedera dan kerugian yang dialami oleh Divisi Selandia Baru dan Divisi ke-10 sangat besar diderita di selatan. Montgomery memutuskan untuk menghantamkan daya upaya Inggris ke belakang koridor utara.

Hari baru pun tiba, dan Montgomery belum merasa pasukan-pasukannya mengalami kemajuan yang berarti dalam pergerakan mereka. 26 Oktober adalah hari pertama Rommel kembali kepada kesatuannya, dan ia memulainya dengan menilai situasi sesudah Thoma melaporkan bahwa front dengan cepat telah merosot keadaannya dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Lebih penting lagi, ia harus membuka jalur pantai untuk tujuan suplai dan sebagai jalur pengunduran diri bila diperlukan. Karena Rommel yakin akan kesetiaan pasukannya, maka ia pun merencanakan untuk melakukan serangan balik.

Montgomery menyadari bahwa jika ia hendak meneruskan dengan tahap penggempuran akhir, ia harus menciptakan cadangan baru karena pasukan khususnya (Corps de Chasse) yang merupakan pasukan penggempur utama telah dilibatkan dalam pertempuran. Dengan membuat keputusan yang paling rumit di sepanjang pertempuran, Montgomery memutuskan untuk membiarkan pasukan-pasukan Australia dari Divisi Tank ke-1 yang ditunjang oleh Divisi Highlanders terus bertahan di utara, sementara ia menyesuaikan kembali seluruh Eighth Army, membiarkan pasukan-pasukan Selandia Baru dan Divisi-Divisi Tank ke-10 dan ke-7 begerak mundur ke belakang sebagai pasukan penggempur cadangan yang baru. Walaupun Rommel mencoba suatu usaha yang riskan dengan mencoba untuk merebut kembali titik 29 sebelum ia melibatkan pasukan-pasukan cadangannya, satuan-satuan Inggris dengan dukungan RAF dan artileri menunjukkan kepadanya bahwa suatu serangan paripurna harus dilakukan bila ingin berhasil.

Rommel menggabungkan Divisi Panzer ke-21 dengan Divisi ke-90 dan Divisi Trieste, yang sudah berada di utara, dan memutuskan untuk menyerang titik 29 dan jalur Ginjal (Kidney Ridge). Ia tahu bahwa segalanya tergantung kepada sukses misi itu, dan ia melibatkan tiap pesawat udara Jerman yang ada dari panglima front selatan, Generalfeldmarschall Albert Kesselring dari Luftwaffe, untuk suatu gempuran gaya Blitzkrieg (perang kilat). Ia hampir yakin benar dari sukses yang akan dicapainya karena  taktik ini tak pernah gagal selama ia menjadi panglima di gurun pasir, dan banyak peristiwa sebelumnya yang mencatat bahwa kekalahan berbalik menjadi kemenangan karena menggunakan gaya ini.

Sepanjang hari hingga malam, pasukan Australia dan Divisi Tank ke-1 terpukul di Kidney Ridge dan point 29, tetapi awak tank Inggris dan para penembak meriam tetap gigih bertahan. Akibatnya, sebelum malam tiba, serangan Jerman telah dipatahkan sama sekali. Untuk pertama kali di Afrika Utara, Inggris bukan saja mengalahkan musuh secara fisik, tetapi juga secara psikologi. Dengan sedikit tank dan kendaraan lain yang masih tersisa, kekuatan-kekuatan Axis mundur dari gurun El-Alamein.

Dengan kegagalan serangannya, Rommel menyadari bahwa ia tidak bisa lagi berharap untuk memenangkan pertempuran. Tapi ia bersikeras untuk mencapai keadaan “seri” dan mengingkari bahwa Eighth Army sedang menunggu kemenangan. Untuk jaga-jaga, ia memerintahkan suatu pengintaian terhadap posisi di Fuka, dimana ia merasa suatu tindakan penunda pada tingkat akhir akan bisa dilakukan disana, bila diperlukan. Garis pertahanan yang terletak lebih dari 75 km di sebelah barat posisi sekarang, dan Rommel tahu bila ia menghendakinya, maka itu berarti ia harus meninggalkan unit-unit non mekanis.

Pada malam tanggal 28 dan 29 Oktober, unit-unit Australia melakukan percobaan nekad untuk mendorong Divisi ke-90 Jerman dari posisi defensif mereka untuk merebut jalur pantai. Walaupun pada mulanya pasukan-pasukan tetangga Indonesia itu berhasil menyergap pihak Jerman yang sedang terlena, mereka tetap tertahan untuk dapat merebut sasaran mereka. Pada tanggal 29 Oktober, Markas Besar di London dan Kairo mulai menekan Montgomery untuk menunjukkan hasil-hasil yang positif untuk penyerbuan yang begitu besar menelan persediaan amunisi dan senjata tersebut. Churchill begitu frustasi karena kemenangan belum juga tercapai, hingga terpikir olehnya untuk menunjuk seorang panglima baru dan membebastugaskan Montgomery.

Pada saat itulah Montgomery mengungkapkan operasi finalnya : Supercharge. Gagasannya adalah hendak memukul dari posisi Australia di sepanjang jalur pantai, untuk menjadikannya kunci dari tahapan gempuran terakhir. Jenderal Alexander tidak senang dan berpendapat bahwa rencana itu akan berakhir dengan kekalahan yang tragis. Ia yakin bahwa Operasi Supercharge tidak lebih dari suatu operasi yang lebih kecil dari Operasi Lightfoot, dan itu sebenarnya bisa, hanya saja harus dilakukan lebih jauh ke selatan, jauh dari pertahanan utama Axis.

Tetapi pada tanggal 30 dan 31 Oktober, sekali lagi pihak Jerman menjadi korban dari nasib jelek! Pada dua hari itu pasukan Australia mencoba sekali lagi merebut pertahanan-pertahanan pantai. Rommel, yang percaya bahwa pasukan-pasukan Australia sebagai ujung tombak penggempuran paripurna untuk melawan Montgomery, telah menyebabkan dia mempertaruhkan segala-galanya untuk menahan pasukan Australia. Dengan demikian Rommel telah berbuat kekeliruan menggerakkan pasukan-pasukannya ke suatu sasaran palsu. Pertempuran yang terjadi kemudian adalah pertempuran yang paling gigih sejak serangan Jerman terhadap titik 29 dan Kidney Ridge. Tetapi walaupun mengalami banyak kerugian dan cedera yang amat berat, pasukan-pasukan Australia mampu bertahan.

Pada tanggal 1 November 1942, dalam suatu serangan artileri dan pemboman udara yang direncanakan dengan baik dan membuat lini komunikasi Afrika Korps acak-acakan, dimulailah Operasi Supercharge. Segalanya nampak berjalan lancar bagi pihak Inggris. Pada malam harinya pasukan Selandia Baru telah mencapai sasaran mereka dan pasukan tank ikut dalam gerakan mereka menuju sasaran-sasaran selanjutnya.

Nampaknya situasi menjadi makin berantakan pada pihak pasukan-pasukan Axis yang bertahan. Rommel secara terus-menerus keliru memperkirakan taktik Inggris, dan tetap percaya dengan gigih bahwa pasukan Australialah yang menjadi ujung tombak. Maka dia mengirimkan jenderal Thoma untuk menghadapi serangan pihak Inggris. Baru keesokan harinya Rommel menyadari kekeliruannya dan mengirim balik Thoma ke wilayah yang sebelumnya telah disuruhnya untuk ditinggalkan, di sekitar Tel el-Aqqaqir. Tetapi usaha Thoma sia-sia, dan 117 buah tank Axis harus dikorbankan dalam dua kali daya upaya perebutan kembali yang gagal. Skuadron tank Inggris mulai merembes ke garis pertahanan musuh di beberapa wilayah walau tidak mengganggu garis-garis komunikasi Axis, tetapi menghancurkan unit-unit suplai di wilayah belakang. Namun demikian, Montgomery belum juga mencapai kemenangan mutlak.

Pada tanggal 3 November, Rommel mulai menggerakkan sisa-sisa Afrika Korps, mengatur suatu pertahanan di sepanjang pantai sambil menarik mundur pasukannya. Walaupun pihak Inggris telah menurunkan tekanan di sepanjang garis front, Rommel secara hebatnya tetap konstan memberikan tekanan terhadap pihak musuh, cukup untuk membuat Montgomery percaya bahwa Afrika Korps masih tetap stabil. Tetapi pada siang itu pukulan terakhir pun dilakukan. Hitler mengirim pesan kepada Rommel bahwa dia harus bertahan karena bala bantuan sedang dikirimkan. Hitler menutup pesannya dengan pernyataan : “kepada pasukan-pasukanmu, kau dapat menunjukkan bahwa tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh kecuali menuju kemenangan atau gugur.” Hitler sangat yakin bahwa walaupun serangan Inggris begitu dahsyatnya, namun daya tahan dan kemauan Afrika Korps lebih besar lagi. Rommel benar-benar dihancurkan oleh pesan itu. Walaupun dengan ragu-ragu, ia tetap mencoba untuk mentaati perintah itu, namun gagal juga. Montgomery mencium suatu gelagat yang dirasakannya sebagai suatu krisis dalam tubuh Afrika Korps, dan karenanya ia mempergencar serangan terhadap Jerman, baik di sisi barat maupun barat laut di sepanjang harinya.

Pada tanggal 4 November, pertempuran El-Alamein benar-benar berakhir. Pada siang harinya kekuatan Axis telah runtuh dan kohesi dari unit-unit di sepanjang front berantakan. Bahkan Thoma, yang pada menit-menit terakhir tetap dengan gigih mencoba untuk menahan gerakan maju dari pasukan Inggris, akhirnya tertangkap oleh Inggris! Rommel memutuskan bahwa keadaan sudah tidak dapat diharapkan lagi, dan ia memerintahkan kepada unit-unit mekanisnya untuk segera mundur ke Fuka, meninggalkan pasukan-pasukan infanterinya yang sedang menghadapi gerak maju pasukan-pasukan Inggris.

Pertempuran El-Alamein, walaupun dianggap sebagai salah satu dari yang paling menentukan di antara pertempuran-pertempuran lainnya dalam Perang Dunia II, sesungguhnya tidak berbeda dengan pertempuran-pertempuran lain yan terjadi di gurun pasir. Walaupun Montgomery tercatat sebagai pemenang dalam pertempuran habis-habisan tersebut, ia gagal menghentikan kekuatan penggerak lawannya, Rommel, dan perang di medan tandus Afrika masih harus berjalan sampai beberapa waktu lamanya, baru berakhir dengan dihancurkannya Afrika Korps oleh kekuatan gabungan Inggris dan Amerika yang menjepit dari dua arah dan melumpuhkan korps super legendaris itu untuk selama-lamanya.

Dari segi kerugian, Rommel telah kehilangan setiap tank dari divisi panzernya. Kira-kira 30.000 orang pasukannya masuk kantong Sekutu sebagai tawanan. Rommel telah meninggalkan lebih dari 1000 meriam di medan perang, dan hanya 20 dari 500 tanknya dalam kondisi operasional! Benar-benar suatu perang puputan (habis-habisan) yang sangat ditakutkan oleh Inggris, namun berhasil mereka menangkan.

Gambaran peperangan secara keseluruhan menunjukkan bahwa mereka tidak mengandalkan kemenangan-kemenangan di Afrika Utara dan dengan demikian Hitler tidak sepenuhnya menunjang kekuatan Rommel, dan bahkan terlihat tidak terlalu peduli akan masalah di wilayah ini.  Tetapi bagi Inggris, peperangan di wilayah Afrika merupakan segala-galanya. Peperangan di Afrika merupakan pengalaman pertama bagi mereka sebagai perang habis-habisan sejak Perang Dunia Pertama. Yang mungkin lebih menonjol adalah fakta bahwa Sekutu memerlukan suatu tempat di mana mereka bisa menuding dan berkata, “Jerman kita kalahkan disini.” Di El-Alamein pihak Inggris menjejakkan kaki mereka di jalan yang kemudian menuju ke kekalahan total dari kekuatan lawan.

Sukses di El-Alamein paling baik digambarkan oleh Churchill, yang sesudah pertempuran El-Alamein mengatakan, “Sebelum El-Alamein kita tidak pernah mencapai kemenangan. Sesudah El-Alamein kita tidak pernah menderita kekalahan.”



Sumber :
Majalah TSM edisi Nomor 5 tahun 1987

ponorogo

Reog Ponorogo dari Jawa Timur - Indonesia

Posted in BUDAYA dari Indonesia pada tanggal 16 November 2011 oleh 2eyeswatching Reog Ponorogo:






REOG PONOROGO
. Tarian yang dikenal sebagai Reog adalah tarian yang sangat spektakuler dengan penari mengenakan kostum beberapa berwarna-warni cerah diiringi oleh musik gamelan bergembira
Itu selalu dimainkan di medan terbuka, seperti seperti dalam persegi, jalan dll Ini tarian yang selalu menarik banyak penonton adalah  sebuah seni tari tradisional yang dikombinasikan dengan pertunjukan magis  atau  trance dance .
reog tanggal kembali selama periode Hindu di Jawa Timur. Cerita ini berkaitan dengan legenda di Ponorogo Raya (+ / - 70 km Tenggara dari Solo). Kelompok tari reog saat ini dapat ditemukan juga di daerah lain di Solo, Yogya, Kota lain di Jawa Timur, Kalimantan, Jakarta, bahkan di Suriname. Salah satu kelompok yang terkenal adalah  Reog Prambanan  di perbatasan Yogyakarta - Solo. Kisah yang kuat  Raja Kelono Sewandono  Ponorogo Kerajaan terkenal dengan kemampuan bertarungnya dan kekuatan magis, didampingi oleh  (Perdana Menteri) Patih Bujanganom  & tentara yang kuat adalah diserang oleh  Raja Singabarong , The King of Lions of Jungle Kediri, didukung oleh pasukannya, terdiri dari Lions dan Peacocks. Saat itu kelompok Ponorogo itu sedang dalam perjalanan ke Kerajaan Kediri menjaga Raja Sewandono untuk menikah  Dewi Ragil Kuning , seorang putri Kediri Raya. Ada pertarungan besar antara pahlawan yang memiliki kekuatan magis. Burung-burung merak terbang atas dan ke bawah mengepakkan sayapnya untuk mendukung The Lions - Singa Barong. Bujanganom dengan cambuk sihirnya, didukung oleh beberapa  Waroks  dalam pakaian tradisional hitam mengalahkan The Lion King dengan semua pengikutnya. Raja Ponorogo dan tentaranya riang terus mereka cara untuk Kediri di punggung kuda. Singa Barong sendi Prosesi Peacocks terus dekat dengan Singa Barong membuka ekornya bulu yang tampak seperti kipas yang indah. (Warok Ponorogo adalah seorang pria dengan kekuatan magis yang kuat, selalu gaun dalam kostum hitam). Kinerja Tokoh utama dari tarian ini adalah  The Lion King Singa Barong diwakili oleh penari mengenakan topeng singa yang membawa kipas bulu merak besar pada atas topeng (topeng ini secara lokal disebut:  Topeng Dadak Merak ). Ini berat badan sekitar 50 kg. Penari harus menggunakan giginya untuk memegang topeng dari dalam. Ia harus memiliki seperangkat sangat kuat gigi dan leher untuk bergerak topeng Dadak Merak. Di atas ini, ia juga membawa seorang wanita yang mewakili Putri Ragil Kuning. Atau kadang-kadang, dia harus menunjukkan keterampilan dan kekuatan lain dengan membawa penari topeng di atasnya, dan ia masih bisa menari dengan gerakan yang kuat dan fantastis. Raja Kelono Sewandono  memakai topeng dan mahkota adalah seorang penari bergaya,  Bujanganom  juga mengenakan topeng adalah seorang penari akrobatik. The Waroks  dalam kostum hitam, Jatilan  - baik tentara muda mencari menunggang kuda bambu datar (Kuda Kepang). Caplokan  - Wears topeng naga untuk memikat Singa Barong menari lebih livelly.














Reog-Ponorogo.jpg Reog Ponorogo image by sukandar_ag
reogponorogo2.jpg REOG Ponorogo image by helmikurniawan
reogponorogo4.jpg REOG Ponorogo image by helmikurniawan
reogponorogo.jpg REOG Ponorogo image by helmikurniawan
reog.jpg REOG PONOROGO image by haris_055
eog Ponorogo - tradisional Indonesia seni dari ponorogo, Jawa Barat
Reog Ponorogo - Dancer eat snake
Reog Ponorogo merupakan tarian tradisional dari Jawa Timur
Reog Ponorogo
The Art of Reog Ponorogo di Madania School, Indonesia (3)





REOG PONOROGO
The dance known as Reog is a very spectacular dance with several dancers wearing bright colorful costumes accompanied by merry gamelan music.
It is always played in the open terrain, such as in a square, street etc. This dance which always draws a lot of spectators is a traditional art dance combined with magical show or a trance dance.
The reog dates back during the Hindu period in East Java. The story is related with the legend in Ponorogo Kingdom (+/- 70 km South East of Solo). Nowadays reog dance groups can be found also in other regions of Solo, Yogya, Other Towns in East Java, Kalimantan, Jakarta, even in Suriname. One of the famous group is Reog Prambanan in the border of Yogyakarta – Solo.
The Story
The powerful King Kelono Sewandono of Ponorogo Kingdom was famous with his fighting skills and magical power, accompanied by his Patih (Prime Minister) Bujanganom & his strong soldiers were attacked by King Singabarong, The King of Lions of Kediri Jungle, supported by his army, consisted of Lions and Peacocks.
At that time the Ponorogo’s group were on the way to The Kingdom of Kediri guarding King Sewandono to marry Dewi Ragil Kuning, a princess of Kediri Kingdom.
There was a big fight between mighty warriors having magical power. The peacocks flew up and down flapping their wings to support The Lions – Singa Barong.
Bujanganom with his magic whip, supported by some Waroks in black traditional dress defeated The King Lion with all his followers.
The King of Ponorogo and his soldiers merrily continued their way to Kediri on horse back. Singa Barong joint the procession The Peacocks kept close to Singa Barong opened their tail feathers which looked like beautiful fan. (Warok of Ponorogo is a man with strong magical power, always dresses in black costumes).
The Performance
The central figure of this dance is The Lion King Singa Barongrepresented by a dancer wearing a mask of a Lion carrying a large peacock feather fan on top of the mask (this mask is locally called : Topeng Dadak Merak). It weight around 50 kg. The dancer has to use his teeth to hold the mask from inside.
He must has  a very strong set of teeth and neck to move around the mask Dadak Merak. On top of this, he has also to carry a lady representing Princess Ragil Kuning. Or sometimes, he has to demonstrate his skill and strength by carrying another mask dancer on top of him, and still he could dance with vigorous and fantastic movements.

King Kelono Sewandono wearing a mask and a crown is a stylish dancer, Bujanganom also wearing a mask is an acrobatic dancer.
The Waroks in black costumes,
Jatilan – good looking young soldiers riding flat bamboo horses (Kuda Kepang).
Caplokan – Wears a dragon mask to lure Singa Barong to dance more livelly.
Reog-Ponorogo.jpg Reog Ponorogo image by sukandar_ag
reogponorogo2.jpg Reog Ponorogo image by helmikurniawan
reogponorogo4.jpg Reog Ponorogo image by helmikurniawan
reogponorogo.jpg Reog Ponorogo image by helmikurniawan
reog.jpg REOG PONOROGO image by haris_055
eog Ponorogo - traditional indonesia art from ponorogo, west java
Reog Ponorogo - Dancer eat snake
Reog Ponorogo an traditional dance from east java
Reog Ponorogo
The Art of Reog Ponorogo at Madania School, Indonesia (3)

Cirebon


Masks From Cirebon




Topeng(Mask) Panji          Topeng Rumyang

Topeng Samba                       Topeng Tumenggung
Topeng Kelana

Dedi Sambudi (53 years old) from Gegesik – Cirebon – The Mask Maker







Aerli Rasinah: The new face of the Cirebon mask dance
| Sun, 06/29/2008 10:56 AM | Life
Mimi Rasinah's granddaughter Aerli Rasinah (right) prays at Sunan Gunung Jati's tomb with her mother. Aerli has been given the responsibility to preserve the Cirebon mask dance. (Courtesy of Kamabudaya)

Mimi Rasinah’s granddaughter Aerli Rasinah (right) prays at Sunan Gunung Jati’s tomb with her mother. Aerli has been given the responsibility to preserve the Cirebon mask dance. (Courtesy of Kamabudaya)
Wearing the red mask of Kelana, a character from the traditional Cirebon mask dance, 22-year-old Aerli Rasinah danced vigorously on stage. Stamping her foot and moving her shoulders and hands in time to the percussion, she looked like a brave warrior from a wayang story.
The granddaughter of maestro mask dancer, Mimi Rasinah, 78, had just received the mandate to continue the Cirebon mask dance tradition from Mimi herself.
On stage, in the courtyard of the 16th century Cirebon founder and Islam propagator Sunan Gunung Jati, witnessed by her pupils and hundreds in the audience, Rasinah bestowed her five masks and her blessings to Aerli.
Being born into a family of dancers, Aerli has taken on the great responsibility to preserve the tradition of dance.
“It’s a heavy task. But I’ll try my best,” she said on the back stage, wiping off her sweat after dancing.
Rasinah inherited the skill to dance from her father Lastra. In 2005, she suffered a stroke and is now paralyzed on the left side of her body. She passed on the skills to her daughter and grandchildren.
“This will be my legacy before I die,” Mimi said.
Aerli’s mother, Waci, who has also mastered the Cirebon mask dance, said the family chose Aerli to take on Mimi Rasinah’s responsibilities because Aerli was still young and had lots of time to develop the tradition in the future.
Mimi Rasinah gives her blessing to Aerli Rasinah to continue the tradition of the Cirebon mask dance. (Courtesy of Kamabudaya)
Dancing maestro Mimi Rasinah dead at 80
Nana Rukmana, The Jakarta Post, Cirebon | Sun, 08/08/2010 5:35 PM | Headlines
Mimi Rasinah (Kompas.com)

Mimi Rasinah (Kompas.com)
Cirebon mask dance maestro Mimi Rasinah died Saturday after suffering a stroke. She was 80.
Hundreds of traditional dancers and pilgrims paid their last respects to the late Mimi at her funeral at Ciweni hamlet public cemetery in Pekandangan village, Indramayu, West Java, on Sunday afternoon.
Many visitors brought to the funeral masks worn by Mimi throughout her career.
Rasinah’s granddaughter Aerli Rasinah, 24, said Mimi passed away at 2 p.m. on Saturday at Indramayu General Hospital.
“When we admitted her to the hospital, she was in a very poor condition. Mimi was treated for about five minutes before she passed away,” she added.
mimi
foto festival tari topeng
CIREBON, 17/10 – ITS MASK FESTIVAL 2010. Dancers bring Mask Dance, Dance Single or Ngedok from Jakarta in the evening peak Mask Festival Nusantara 2010, in Cirebon, West Java, on Saturday (16/10). Mask Festival 2010 Nusantara function saw the presence and position of the archipelago in the constellation of art mask Indonesian arts and culture. AFP PHOTO / Rosa Panggabean/ed/pd/10.
foto festival tari topeng