Invasi Jerman ke Uni Soviet
Tentara Jerman melemparkan granat tangan Potato-Smasher dalam fase-fase awal Operasi Barbarossa
Master
Blitzkrieg (serangan kilat) Jerman terkenal, Generaloberst Heinz
Wilhelm Guderian bersama pasukannya. Di belakang terlihat jenderal tank
terkenal lainnya, Generalleutnant Graf Hyazinth Strachwitz von
Gross-Zauche, der Panzergraf!
Tipikal tentara Wehrmacht Jerman, seorang Sersan dengan dekorasi Eiserne Kreuz 1 klasse dan General Assault Badge di dadanya
Pasukan
SS dengan tawanannya, tentara Asia Rusia. Selama Operasi Barbarossa
sendiri, jutaan (!) tentara Rusia tertawan, yang sebagian besar di
antaranya tewas di kamp-kamp tawanan Jerman
Panzerkampfwagen
III yang berasal dari Divisi Panzer ke-8 sedang menyeberangi sungai Bug
di Rusia. Terlihat log-log kayu di belakangnya untuk memudahkan mereka
melewati jalan berlumpur yang mulai banyak didapati selama musim gugur
Rusia yang menyesakkan
Makam
tentara Jerman di dekat Moskow. Kebanyakan makam sederhana semacam ini
pada akhirnya diratakan oleh Rusia sehingga tak terhitung berapa banyak
pasukan Jerman yang terbunuh di front Timur yang tak diketahui kuburnya!
Peta Operasi Barbarossa
Adolf Hitler dalam bukunya “Mein Kampf” (Perjuanganku) yang ditulis tahun 1920-an telah menunjukkan obsesinya untuk memperluas wilayah Jerman.
Maksudnya tak lain untuk menjamin kehidupan bangsa dan negaranya di bumi ini. “Untuk itu kami pertama-tama tak pernah lepas untuk berpikir tentang Rusia dan negara-negara perbatasannya,” kata Hitler.
Kekayaan alam termasuk hasil pertanian Rusia yang menjadi magnet bagi pemimpin Nazi tersebut. Dorongan juga muncul oleh pandangannya yang merendahkan derajat bangsa-bangsa Slav serta ideologi Bolsewisme Rusia yang dianggapnya merupakan ‘persekongkolan Yahudi’.
Karena itu dunia sangat heran dan seakan tak percaya ketika Jerman dan Rusia pada tanggal 22 Agustus 1939, 10 hari menjelang pecahnya Perang Dunia II, menandatangani pakta non-agresi.
Benar, rupanya itu merupakan strategi Hitler untuk mengamankan pintu belakangnya lebih dulu ketika dia sibuk menyerbu ke Barat, menggulung Prancis, Belanda, Belgia, dan lain-lainnya. Nanti setelah front Barat dikuasainya, barulah dia berpaling ke Timur.
Dalam bulan Juli tahun 1940, pemimpin Nazi itu memerintahkan para jenderalnya mempersiapkan rencana invasi ke Timur (Rusia). Banyak jenderal Jerman yang keberatan. Mereka mengingatkan pengalaman pahit pada Perang Dunia Pertama ketika Jerman harus menghadapi dua front sekaligus dan akhirnya kalah.
Tetapi Hitler tetap ngotot dan menegaskan bahwa Jerman tidak boleh menunggu sampai Rusia menjadi kuat. Ia meyakinkan para jenderalnya, Rusia yang sedang lemah itu pasti dapat segera dibereskan dalam tempo delapan hingga sepuluh minggu saja. “Cukup dengan menendang pintunya saja, dan seluruh bangunan yang telah lapuk itu akan ambruk,” tegas Hitler kepada para jenderalnya yang masih ragu.
Karena itu kegiatan menyusun rencana invasi terus dilakukan, dan hasilnya berupa suatu operasi militer raksasa yang diberi nama “Barbarossa” atau Janggut Merah, nama julukan bagi kaisar Jerman Friedrich I yang meninggal dalam Perang Salib abad ke-12. tanggal dilancarkannya operasi penyerbuan ke Rusia pun ditetapkan, yaitu musim semi menjelang musim panas.
Ketika staf perencanaan operasi ini membeberkan peta Rusia, jago perang tank Jerman Generaloberst Heinz Guderian pun terbelalak matanya dan tak dapat menyembunyikan kekecewaan serta kecemasannya. Ia tersadar akan keraksasaan tanah Rusia. Tetapi bagi seorang militer, perintah adalah perintah, titik!
Begitu yakinnya para perencana bahwa operasi melumpuhkan Rusia hanya perlu waktu pendek dan sebagian besar pasukan Jerman sudah dapat ditarik kembali sebelum musim dingin tiba, sehingga mereka pun tidak begitu menyiapkan peralatan untuk musim dingin, termasuk pakaian khusus bagi pasukannya.
“Kemenangan kilat di front Barat telah mengakibatkan para perencana menghapuskan kata ‘tidak mungkin’ dalam kamus mereka,” kata Guderian.
Sementara itu dalam perkembangan lain, diktator Fasis Italia Benito Mussolini ingin menunjukkan dirinya tak kalah hebat dari Hitler. Pada tanggal 28 Oktober 1940, dia memerintahkan pasukannya menyerbu Yunani dari Albania yang telah didudukinya. Tetapi petualangannya ini gagal secara memalukan. Pasukan Italia dipukul balik oleh Yunani, bahkan terancam terusir dari Albania.
Tetapi Hitler tak mau membiarkan sekutunya ini kehilangan muka, sehingga dia terpaksa turun tangan menyerang Yunani dan juga Yugoslavia. Akibatnya, Operasi Barbarossa yang sedianya dimulai pada bulan Mei terpaksa ditunda, karena sebagian kekuatan Jerman dialihkan untuk medan perang baru yang tadinya tak masuk dalam rencana.
Barbarossa baru dapat dilancarkan pada musim panas, tanggal 22 Juni 1941, dan ini berarti jaraknya makin dekat dengan musim dingin Rusia yang terkenal ganas, yang dalam sejarah pernah berperan besar menggagalkan ambisi Kaisar Napoleon dari Prancis untuk merebut Moskow pada tahun 1812.
Kini sejarah terulang lagi, Jenderal Musim Dingin (Winter General) di Rusia akan menjadi bencana bagi tentara Jerman (Wehrmacht) yang terkenal tangguh itu.
Kini kita meloncat dulu ke tanggal 5 Desember 1941...
Di hari yang amat dingin itu, Otto Schiele, seorang prajurit dari Kompi 4, Batalyon 3, Divisi Infanteri ke-31 Jerman merogoh sakunya, mengeluarkan selembar kertas koran yang sudah usang, terbitan beberapa bulan sebelumnya. Dari koran Volkischer Beobachter itu ia sekilas membaca judul berita utamanya, pidato Menteri Propaganda Nazi, Joseph Goebbels, “Kampf bis zum letzten mann und der letzen kugel! (Bertempur sampai orang terakhir dan peluru terakhir!, red).”
Tetapi prajurit muda ini tidak berniat membaca koran bekas itu. Ia malah merobeknya dengan hati-hati, membentuk selembar kertas. Kemudian dari saku yang lain, ia mengeluarkan sekantung kecil tembakau, menjumput sedikit isinya lalu menggulungnya di kertas menjadi rokok.
Ketika Schiele sedang menikmati rokoknya, hawa dingin yang menggigilkan tiba-tiba masuk menyerbu ruang pondoknya. Rupanya pintu dibuka dan seorang serdadu bertopi baja dan memakai mantel tebal masuk. Pada overcoatnya bertaburan salju yang telah membeku menjadi bunga es. Dari bibir pucatnya yang bergetar, serdadu itu mendesis, “Scheisse, malam ini udara pasti lebih membeku.”
Seorang prajurit lain yang bernama Wallner bersiap-siap menggantikan berjaga di luar. Ia memakai pakaian hangat dan kaus kaki rangkap-rangkap. Sebelum keluar pintu ia meraih senjatanya seraya mengingatkan agar makan paginya disiapkan, termasuk kopinya. Ia keluar, menghilang di kegelapan malam yang teramat dingin, dengan suhu tercatat 42 derajat celcius di bawah nol! Ketika ditemukan esok paginya, tubuh Wallner telah membeku kaku seperti papan. Dia mungkin tidak menderita terlalu lama, jatuh tertidur lalu membeku sampai mati.
Dapatlah dikatakan bahwa tanggal 5 Desember 1941 akan tercatat dalam sejarah peperangan modern sebagai Hari Pengorbanan Tentara Infanteri Jerman. Hari itu, Divisi ke-31 menunjukkan keperwiraan yang luar biasa, jatuh bangun dan berusaha terus mencapai sasarannya, kota Moskow. Namun perubahan cuacalah yang akhirnya menentukan jalannya peristiwa sejarah. Malam itu, dalam cuaca bulan purnama yang menerangi permukaan bumi yang serba putih, suhu terus melorot turun menjadi minus 46 derajat celcius!
Dalam kesunyian membeku itu, lambat-lambat terdengar deru mesin dipanaskan. “Ooh, itu tank-tank Rusia, bukan punya kita,” kata seorang Kopral yang telinganya telah terlatih. Masa penantian yang mencekam pasukan Jerman yang berada di garis terdepan yang telah mendekati ibukota Rusia akhirnya berakhir, dengan perintah untuk maju menyerang. “Auf marsch-marsch! (maju-maju!, red)” teriak para Sersan kepada satuan masing-masing. Apa pun yang bakal mereka segera hadapi, bagi semua prajurit Jerman adalah lebih menggembirakan daripada harus bertahan dan mati membeku dalam kedinginan.
Dengan nafas terengah, mereka pun maju melawan lapisan salju yang telah mencapai pinggang. Tenaga terkuras untuk setiap langkah. Nafas hangat yang keluar dari mulut mereka serta-merta membeku begitu dihembuskan. Mereka jatuh bangun, terperosok di salju, dan Sersan-sersan tak henti-hentinya berteriak menyemangati para prajuritnya, sampai tiba-tiba hujan tembakan musuh menyirami mereka. Banyak yang langsung terkapar di lapisan salju, dan merahnya darah mulai mewarnai bumi yang putih bersih. Mereka yang terjatuh, hanya dalam hitungan menit tubuhnya langsung kaku membeku.
Para prajurit Jerman tak mempunyai pilihan lain. Mereka berusaha maju terus. Tetapi banyak senjata mereka yang macet, beku, karena memang tak pernah dipersiapkan secara khusus menghadapi peperangan melawan Winter General. Sangat berbeda dengan Pasukan Merah yang kualitas pakaian dan sepatu hangatnya jauh melebihi pasukan Jerman, sementara persenjataannya pun telah disesuaikan untuk anti-beku.
Medan perang di muka kota Moskow menyaksikan pertempuran hidup-mati yang dahsyat. Semangat para pasukan Jerman yang memilih lebih baik mati bertempur daripada membeku di padang salju membuat mereka seperti banteng terluka yang mengamuk.
Pagi harinya, langit kelam yang menggelayut telah sirna, seperti layar dalam drama Yunani yang terbuka pelan-pelan. Pertempuran hebat terus berlanjut, kematian demi kematian terus menumpuk, dan tatkala semua peralatan modern telah macet, maka tinggallah semangat bertahan hidup pada masing-masing prajurit yang membuat drama ini belum habis.
Semangat hidup itulah yang akhirnya membuat pasukan Divisi ke-31 Jerman berhasil memecahkan garis pertahanan Rusia, dan mereka kini tinggal delapan kilometer dari sasaran mereka. Namun, sesudah itu kemudian semuanya tiba-tiba selesai. Mereka tidak mampu bergerak lagi. Drama di muka kota Moskow itu tidak lain merupakan salah satu akibat dari ambisi gila Hitler, yang pada akhirnya ikut menyumbang titik balik dari kemenangan Jerman Nazi menjadi kekalahannya.
Ambisi Hitler yang mula-mula tertuang dalam ‘kitab sucinya’ Nazi yaitu 'Mein Kampf', kemudian dijabarkannya dalam arahan resmi, Führer Befehl No. 21 yang dibuatnya pada tanggal 18 Desember 1940 (ketika masih dalam ikatan Pakta Non-Agresi dengan Rusia). Direktif itu menggariskan bahwa tentara Rusia yang ditempatkan di Rusia bagian Barat harus dihancurkan dengan operasi kilat yang diujungtombaki oleh kekuatan lapis baja. Selanjutnya usaha pengunduran diri secara teratur dari musuh ke wilayah luas di pedalaman Rusia harus dicegah.
Operasi Barbarossa yang dilaksanakan dan digelar secara mendadak ini memang telah diraba oleh pihak Soviet. Namun mereka tidak pernah memperkirakan bahwa datangnya akan secepat itu. Diktator Soviet Josef Stalin tidak mau mempercayai laporan serta peringatan dari jaringan mata-matanya, termasuk Dr. Richard Sorge, spion paling dahsyat di dunia, yang memperoleh bocoran rahasia Barbarossa di Tokyo. Sorge juga berjasa terhadap Stalin karena meyakinkan bahwa Jepang tidak akan menyerang Rusia sehingga Stalin tak perlu menghadapi dua front.
Ketidakpercayaan Stalin akan serbuan Jerman itu pun masih terjadi bahkan ketika Wehrmacht telah menyeberangi perbatasan dan menghantam pasukan garis depan Rusia! Melalui Marsekal Timoshenko, dia sempat memerintahkan panglima Rusia di front depan, Jenderal Boldin, agar tidak melakukan aksi apapun terhadap pasukan Jerman. Semua aksi militer harus sepengetahuan dan seizin Stalin sendiri. Boldin menjawab bahwa perintah itu tidak mungkin dijalankan, “Tentara kami terus terdesak mundur, kota-kota dibakar, dimana-mana orang dibunuh,” ungkapnya.
Namun jawaban dari Moskow ternyata tetap menegaskan bahwa perintah Stalin itu harus tetap dilaksanakan, titik! Dalam kondisi yang serba bingung di pihak musuh ini, maka mesin perang Jerman pun menggelinding dengan cepat ke sasaran-sasarannya. Apalagi ketika itu musim panas, sehingga walau jalan-jalan di Rusia berbeda dengan jalan-jalan di front barat yang mulus, lebar dan modern, tapi tank-tank Jerman tetap dapat melewatinya dengan baik.
Jalan-jalan tanah Rusia dengan debunya yang tebal dan halus memang mengganggu, namun belum menjadi rintangan besar, kecuali harus lebih rajin membersihkan mesin kendaraan perang yang dirongrong debu. Namun untuk pasukan infanteri, cuaca terasa amat panas dan cukup menyiksa bagi yang tidak terbiasa. Apalagi, mereka harus selalu menghirup debu dan kehausan.
Operasi Barbarossa ini dilakukan dengan terobosan oleh tiga grup tentara, masing-masing Utara, Tengah dan Selatan. Grup Utara pimpinan Generalfeldmarschall Wilhelm Ritter von Leeb menyerbu dari Prusia Timur dengan sasaran Leningrad (St. Petersburg). Grup Tengah di bawah komando Generalfeldmarschall Fedor von Bock dari Polandia melalui hamparan rawa-rawa luas Pripyat menuju Smolensk untuk kemudian ke Moskow. Sedangkan grup Selatan yang dipimpin oleh Generalfeldmarschall Gerd von Rundstedt bergerak ke arah Kiev dengan tujuan menguasai wilayah gudang pangan (gandum) di Ukraina serta sumber minyak bumi di Kaukasus.
Tentara Rusia yang tidak menyangka dan tidak siap menghadapi Barbarossa, dengan cepat digilas oleh mesin perang Jerman. Dalam beberapa bulan pertama invasi itu, hampir tiga juta pasukan Rusia ditawan serta 17.000 tanknya dihancurkan. Stalin memang memiliki lebih banyak tank, pesawat terbang, dan sumber daya manusia, tentara, tetapi kekuatan tersebut pada awal perang terpencar dalam wilayah yang begitu luas, dari Siberia, Mongolia Luar, hingga perbatasan Polandia.
Banyak pimpinan tentara merah yang berotak cemerlang juga telah dilenyapkan dalam aksi pembersihan besar-besaran (the Great Purge) tahun 1937. Tetapi dinamika invasi Jerman dengan garis front yang sangat panjang dan melebar itu, kemudian terbukti hanya mampu bertahan sekitar lima bulan saja.
Hitler dari awal membuat kesalahan besar dengan memandang rendah keuletan dan kemampuan perlawanan pihak Soviet, serta melupakan bahwa ukuran-ukuran geografis di Rusia adalah serba luar biasa besaran luas dan jaraknya. Belum lagi prasarana dan sarananya yang kala itu masih terbelakang, sehingga kurang mendukung operasi peralatan perang yang mekanis, modern, dan mobil. Akibatnya pengiriman logistik ke pasukan-pasukan terdepan semakin sulit, baik karena jarak maupun gangguan dari para partisan (gerilya) Rusia.
Sekalipun demikian, sampai pertengahan Juli sekitar dua pertiga jarak tempuh ke Moskow telah dicapai oleh pasukan lapis baja Jerman yang dipimpin oleh jenderal-jenderal yang telah kenyang makan asam garam peperangan seperti Guderian, Hoepner dan Hoth. Namun pada tanggal 19 Juli 1941, Hitler mengeluarkan lagi direktifnya, Führer Befehl No.33, yang segera terbukti menjadi blunder terbesarnya dengan akibat sangat fatal bagi Jerman.
Hitler yang tertarik untuk memperoleh kemenangan spektakuler dengan menawan pasukan musuh dalam jumlah besar, mendadak memerintahkan gerak maju pasukannya ke arah Moskow dihentikan sementara. Ia menarik pasukan baja Hoth ke utara, untuk membantu pengepungan terhadap Leningrad. Sedangkan pasukan tank Guderian diperintahkannya ke selatan untuk ikut mengepung sejumlah besar pasukan Rusia di Kiev.
Keputusan Hitler yang cenderung politis dan bukannya berdasar pertimbangan militer sepenuhnya, bukannya tanpa tentangan dari para jenderalnya, termasuk Guderian sendiri. Mereka lebih menghendaki gerak maju ke Moskow diteruskan, karena bagaimanapun kota ini adalah pusat dan simbol kekuasaan dari pemerintahan komunis Uni Soviet.
Para jenderal itu juga sebetulnya khawatir akan datangnya musim dingin sebelum mereka berhasil merebut Moskow. Namun Hitler tidak peduli. “Baginya, tingginya angka tawanan perang musuh merupakan bukti konklusif superioritas Jerman,” tulis Kepala Staf Generaloberst Franz Halder dalam catatan hariannya.
Dengan keputusannya yang tidak dapat ditawar demi memetik kemenangan spektakuler namun kurang berarti dari segi militer itu, maka Hitler telah mengesampingkan tiga faktor vital yang dalam sejarah telah terbukti menjungkalkan Napoleon di Rusia. Ketiganya adalah : ruang, waktu, dan cuaca. Dan hal ini pun segera akan terbukti. Sekaligus ini juga berarti Hitler sendiri telah mengorbankan tujuan akhir Operasi Barbarossa, yaitu serangan terpadu tiga pasukan lapis baja terhadap Moskow. Jerman pun kehilangan waktu yang tak ternilai harganya selama empat minggu dalam geraknya ke Moskow. Kehilangan waktu inilah yang harus dibayar mahal sekali.
Baru pada tanggal 2 Oktober 1941 Hitler memerintahkan penyerangan dan perebutan Moskow dimulai kembali. Tanggal itu ironis sekali, karena mengingatkan pada sekitar awal bulan Oktober tahun 1812 dimana Napoleon memerintahkan bala tentaranya mundur dari Moskow karena dia khawatir akan datangnya musim dingin Rusia yang terkenal ganas. Sekarang, apa yang tadinya optimis dapat dilakukan dalam bulan Juli-Agustus yang kering, kini menjadi keraguan karena hujan akan segera tiba. Dan ini artinya jalan-jalan di Rusia yang primitif akan menjadi sungai lumpur yang sulit dilalui oleh kendaraan maupun manusia.
Sesuai perintah dari Hitler, maka subuh tanggal 2 Oktober tank-tank Jerman telah memanaskan mesinnya. “Sersan, dalam sebulan lagi kita akan menikmati sarapan yang enak dengan kaviar di Lapangan Merah, ya kan?” tanya seorang pengemudi tank yang masih muda kepada seniornya itu. Si Sersan hanya mengangkat bahunya seraya membatin, "Ah anak muda, apakah engkau tidak tahu yang sebenarnya?" ketusnya.
Komandan satuan tank itu, Hauptmann Detlef von Wagenburg mengusap matanya yang letih dan sekali lagi melihat arlojinya. “Erste Kompanie!!!?” tanyanya. “Zweite Kompanie...” Begitu para komandan kompi tanknya menjawab siap, maka derum mesin ratusan tank tiba-tiba menggemuruh dibarengi dengan dentuman-dentuman dari semua laras meriamnya. Bumi sekitarnya seolah meledak, bergetar hebat. Derak rantai dan roda-roda tank yang bergerak maju menambah hingar-bingar pagi yang dingin. Ketiga pasukan panzer Jerman bergerak serentak ke arah Timur, melindas dan menghancurkan apa saja yang menghalanginya.
Bulan Oktober merupakan musim gugur. Cuaca mulai berubah dari panas dan kering menjadi kian dingin dan basah. Serbuan ulang Jerman ke arah Moskow benar-benar tidak terbendung. Dengan cepat garis-garis pertahanan Rusia digulung. Tetapi mereka semakin ulet dan semakin fanatik.
Tank Von Wagenburg termasuk yang paling depan karena tugas satuannya adalah membungkam artileri musuh. Setelah melalui sebuah desa yang terbakar, tank-tank Wagenburg tiba-tiba dihadang sejumlah tank Rusia yang dipenuhi oleh prajurit infanteri. Sebuah tembakan tank Jerman tepat mengenai salah satu tank Rusia itu, yang langsung meledak dan melontarkan para prajurit yang bertengger di atasnya.
Tembakan anti-tank dari pasukan Rusia juga tak kalah sengit. Dari kubu-kubu mereka di balik hutan, tembakan mereka berhasil menghancurkan sejumlah tank Jerman. Teriak dan jeritan manusia bersaing dengan letusan dan ledakan peluru. Pasukan Rusia seolah-olah tidak takut mati dan melawan terus sampai darah terakhir. Namun disana-sini timbul juga kepanikan di kalangan tentara Merah itu, sehingga ada yang melarikan diri dari posisinya.
Mereka yang ketahuan lari, tak ada ampun akan ditembak oleh satuan polisi khusus Rusia (NKVD) yang terkenal kejam. Mereka ini berkeliaran mencari para desertir. Jenderal G.V. Balushin, salah seorang komandan pasukan terdepan Rusia yang baru saja menerima bintang jasa karena perlawanannya yang heroik melawan Jerman di Smolensk, tak luput dari hukum besi NKVD. Tanggal 5 Oktober 1941 daerah pertahanannya dikepung pasukan tank Jerman yang tiba-tiba muncul. Pertempuran hebat pecah, dan pasukan Jerman berada di atas angin.
Untuk mencegah penghancuran pasukannya secara sia-sia, Balushin memerintahkan pengunduran taktis. Namun keputusan ini rupanya dianggap sebagai perbuatan pengecut. Mobil jenderal ini dihentikan oleh sekelompok NKVD, dan seorang kapten NKVD menyatakan bahwa atas perintah Komite Pertahanan Moskow, Balushin dicopot pangkat dan jabatannya. “Gregori Balushin, dengan ini kamu dijatuhi hukuman mati karena kepengecutan di hadapan lawan. Hukuman akan dilaksanakan segera,” kata kapten itu.
"Oh betapa hidup ini, kemarin pahlawan, hari ini dicap pengkhianat," ujar Balushin sambil meminta rokok kepada si Kapten NKDV, dan dia diberi sebatang. Dia diberi rokok karena si Kapten tahu bahwa Balushin adalah pahlawan dan namanya sudah kadung harum di mata rakyat Rusia. Jenderal ini hanya menghisap rokoknya sekali, lalu membuangnya. Ia kemudian digandeng pergi ke balik pepohonan di pinggir jalan, dan tak lama kemudian terdengarlah letusan tembakan. Dor!!!
Gerak maju mesin perang Jerman seperti tak terbendung. Ratusan ribu pasukan dan ribuan tank serta kendaraan perang Rusia lainnya yang menjadi bagian dari perameter luar pertahanan Moskow terkepung atau hancur. Stalin yang mencemaskan kondisi itu, pada tanggal 11 Oktober 1941 mengangkat jenderal Gheorgi Zhukov sebagai Panglima Pertahanan Moskow. Zhukov segera meminta disediakan 100 divisi segar serta ratusan tank baru, T-34, yang terbukti lebih mumpuni dibandingkan dengan tank Jerman pada saat itu.
Stalin yang sementara itu baru mendapat laporan dari spionnya di Tokyo, Richard Sorge, bahwa Jepang tidak akan menyerang Rusia, segera menarik kekuatan tentaranya dari Timur dan Siberia. Setiap hari 50 hingga 100 kereta api berangkat dari Timur dengan tujuan Moskow, berisi penuh serdadu dan perlengkapan perang lainnya. Pada tanggal 12 Oktober, apa yang ditakutkan Jerman terjadilah, cuaca berubah drastis. Hujan sejak hari itu mulai turun dimana-mana dan seperti tak ada hentinya. Dari Smolensk hingga Orel, dari Viazma hingga Kalinin.
Hujan dan hujan terus. Sungai-sungai bergolak dan meluap, jalan-jalan menjadi lumpur yang pekat sampai setinggi lutut. Kendaraan bermotor Jerman pun nyungsep terjebak lumpur, kuda tak mampu menarik kereta, dan bagi prajurit infanteri, setiap langkah menjadi perjuangan tersendiri yang berat. Demikianlah, “Jenderal Lumpur” Rusia mulai beraksi, belum lagi “Jenderal Musim Dingin” nantinya.
Sekalipun menghadapi medan lumpur yang berat, pasukan Jerman tetap berusaha bergerak ke timur. Sampai akhirnya pada tanggal 19 Oktober, tentara Jerman terpaksa berhenti. Panglima sektor tengah, Jenderal Hans-Günther von Kluge mengirim kawat ke markas besar Jerman yang isinya : “Harus menunggu sampai musim beku yang akan mengeraskan jalan sehingga panzer dapat bergerak lagi.”
Mendengar itu, murkalah Hitler! Ia hanya melihat bahwa jarak ke Moskow tinggal beberapa hari lagi, mengapa kini harus berhenti? Ia pun memerintahkan : jalan terus! Maka Divisi Lapis Baja ke-3 bersama Divisi Infanteri ke-258 ditugaskan untuk menyusup ke arah barat daya Moskow melalui jalan yang masih dapat menopang mereka.
Pertempuran demi pertempuran terus berlangsung dengan sengitnya. Pelopor perang kilat, Blitzkrieg, Generaloberst Heinz Guderian, mulai patah semangat akibat lumpur, lumpur dan lumpur. Pasokan logistiknya, baik peluru, bahan bakar, maupun keperluan lainnya tertinggal 50 km di belakang pasukan tanknya, dan tidak dapat dikirim karena transportasinya jeblok akibat lautan lumpur. “Ya, main Führer, kami membaca buku pengalaman Napoleon, tetapi tuan segan dan tidak mau mendengar peringatan kami mengenai cuaca Rusia,” demikian keluh para Jenderal di front.
Pada minggu kedua bulan November, “Jenderal Musim Dingin” pun akhirnya tiba dengan seluruh kekuatannya. Tanggal 12 November 1941 itu suhu sontak merosot menjadi minus 15 derajat, dan esok harinya minus 20 derajat celcius.
Tanggal 13 November, Kepala Staf Hitler, Generaloberst Franz Halder, mengundang para petinggi militer Jerman. Dia menjelaskan rencana Hitler untuk melancarkan serbuan final ke Moskow. Namun para jenderal kurang antusias menanggapinya, karena mereka tahu nasib baik Jerman sebenarnya telah tercuri dengan blunder Hitler tatkala dia menyetop sementara serbuan ke Moskow pada musim panas yang lalu. Tetapi segala keberatan tidak didengar. Hitler tetap menghendaki tanggal 15 November sebagai awal serbuan final merebut Moskow.
Namun unsur pendadakan serangan sebenarnya telah hilang, dan perlawanan semakin tangguh dari Tentara Merah dapat dipastikan akan terjadi. Lebih dari 80 divisi segar dari Siberia telah didatangkan, sementara pasukan Jerman yang semakin menipis jumlahnya, telah keletihan karena bertempur konstan selama enam bulan terus menerus.
Malam itu para prajurit tank Jerman pun harus membuat api di bawah tank masing-masing, agar piston mesinnya tidak membeku. “Apa sasaran kita besok, herr Leutnant?” tanya seorang prajurit kepada perwiranya. Si perwira rupanya ingin membangkitkan semangat anak buahnya. “Der Rote Platz, Lapangan Merah dan ruang makan Stalin,” kata si perwira itu tanpa dapat menyembunyikan kemuramannya.
Pagi tanggal 15 November di sepanjang front yang panjangnya 1.000 Km, tank-tank Jerman yang disertai infanterinya bergerak. Tetapi kini tidak semua tank berhasil dihidupkan, sebagian membeku mesinnya. Skuadron tank Von Wagenburg yang terdiri dari 12 buah tank Panzerkampfwagen IV langsung menuju tepi sungai Nara, untuk selanjutnya ke Podolsk yang terletak hanya 34 Km dari pusat kota Moskow. “Maju terus, tembak terus!” aba-abanya ketika melihat jembatan ternyata masih utuh. Jembatan ini berhasil dikuasainya dan komandan divisi memerintahkannya untuk mempertahankannya mati-matian.
Sementara itu ratusan ribu prajurit Soviet yang masih segar dari Siberia dengan pakaian musim dingin yang berwarna kamuflase putih, mulai menyiapkan diri di sekitar Moskow. Tank-tank baru T-34 berwarna putih dalam jumlah besar pun mulai dikirim ke front. Sementara itu, pasukan Divisi Infanteri ke-258 Jerman yang bersama Divisi Lapis Baja ke-3 berada di barat daya Moskow, telah sampai ke Burzeto, 55 Km dari Moskow.
Tak mereka sangka, tiba-tiba sepasukan tank T-34 Rusia datang menyerang, menyeberangi padang salju seraya menembaki posisi Jerman dengan gencar. Senjata anti-tank Jerman pun beraksi. Namun alangkah kagetnya mereka ketika melihat pelurunya tak mempan menembus lapisan baja monster baru Rusia itu.
Namun pasukan Jerman terus menekan. Tanggal 27 November mereka berhasil mencapai kanal sungai Volga, lalu merebut Gorki, 20 Km dari Moskow. Bahkan pada tanggal 30 November, dalam kondisi hujan salju, Divisi Panzer ke-2 mampu mencapai Chimki, hanya delapan kilometer dari pinggiran kota Moskow. Sebuah patroli Batalyon Perintis malah mampu menyusup ke sebuah stasiun bis kota, 17 Km saja dari Kremlin.
Satuan perintis Jerman yang sudah mendekati Kremlin itu sempat berkelakar bahwa mereka tinggal menunggu bis kota yang akan membawa mereka ke Kremlin. Namun bis itu tidak pernah datang. Yang datang adalah sesuatu yang lain, yaitu topan salju yang seperti es dinginnya. Tak ada tempat berlindung di tempat tersebut. Semua bangunan, bahkan pohon-pohon, sudah rata dengan tanah. Keesokan harinya, yang tampak tinggal gundukan-gundukan salju dan di bawahnya adalah tubuh para prajurit yang naas tadi.
Mereka mati beku karena suhu pada malam sebelumnya mencapai 52 derajat di bawah nol. Tapi Jerman belum mau menyerah oleh kondisi alam yang merintanginya. Pengintaian yang dilakukannya dari udara menunjukkan kota Tula di luar Moskow tampaknya masih utuh. Tanggal 4 Desember pasukan Divisi Infanteri ke-31 diperintahkan untuk menguasai Tula, yang oleh Jerman akan dijadikan markas musim dingin. Namun perintah ini terlambat dua hari.
Seandainya datang terlebih dahulu, maka pasukan tank dapat membantu sebagai ujung tombak karena jalan ke Tula masih beku oleh es dan tak dapat dilintasi. Namun dalam dua hari terakhir hujan salju turun dengan hebat, mengakibatkan lapisan salju yang teramat tebal untuk dapat dilalui pasukan mekanis Jerman. Akibatnya pasukan infanteri harus berjalan sendiri tanpa perlindungan. Itu pun kalau mereka mampu berjalan menembus lapisan salju yang dalam.
Akibatnya, selain gerakan lamban sekali ditambah masih harus menangkis serangan musuh, mereka pun harus menghadapi bahaya yang mengerikan, yaitu pembusukan anggota tubuh karena frostbite dan gangrene. Para dokter pasukan tak henti-hentinya harus mengamputasi jari, baik kaki maupun tangan. Kalau tidak, akibatnya akan sangat fatal bagi si penderita.
Tanggal 4 Desember 1941 keluar perintah untuk menyerang Tula mulai pukul 01.00 pagi dengan memanfaatkan cahaya rembulan. Para prajurit Jerman tampaknya telah kehabisan tenaga karena terkuras untuk melawan dinginnya cuaca yang menusuk dan mematikan itu. Sehingga tatkala perintah telah tiba untuk menyerang, mereka pun kelihatan lebih bersemangat dan senang. Mereka merasa lebih baik menghadapi musuh yang mungkin juga berarti kematian daripada harus mati pelan-pelan karena membeku.
“Kami mencapai tepi sungai dan menyerang posisi musuh di balik garis pepohonan. Senapan mesin musuh menyapu kami, dan kami harus mundur dengan banyak korban. Karena picu senjata kami banyak yang beku dan macet, maka kami pun mencoba mengulang serangan dengan bayonet,” demikian kisah seorang prajurit Jerman.
Suhu waktu itu adalah 40 derajat celcius di bawah nol. Banyak dari kami yang luka-luka tidak dapat segera dirawat karena menunggu giliran. Akhirnya banyak dari mereka yang mati bukan karena lukanya, melainkan oleh udara yang membekukan.
Akhirnya pada tanggal 5 Desember menjelang tengah malam, panglima divisi Generalmajor Berthold memerintahkan pengunduran diri, karena kalau tidak maka ofensif balasan Rusia akan memotong-motong pasukan divisinya yang sudah melemah akibat cuaca dan serangan musuh. Setelah unit terakhir mencapai posisi bertahan yang baru, maka ketahuanlah bahwa divisi yang pada 24 jam sebelumnya masih berkekuatan penuh, kini menciut tinggal kurang dari satu batalyon.
Mereka yang masih hidup merasa kecewa seolah-olah telah dilupakan dan ditinggalkan oleh Berlin. Pengorbanan mereka dianggap sia-sia. Seperti telah diperkirakan, maka pada tanggal 6 Desember, Rusia mengerahkan kekuatannya melancarkan ofensif balasan dari perimeter pertahanannya di Moskow terhadap semua posisi tentara Grup Tengah Jerman. Ratusan tank T-34 berwarna putih dan satu juta prajurit Merah yang semuanya juga berseragam putih bergerak menerobos semua garis Jerman.
Tentara Jerman yang sudah susah payah mendekati Moskow tidak mampu lagi melawan. Mereka dipukul mundur, mundur, dan mundur terus makin menjauhi sasarannya. Mencium kemenangan, pasukan Merah pun semakin ganas membabati agresornya. Kinilah saat titik balik dan sekaligus pembalasan.
Hauptmann Von Wagenburg tegak berdiri di turret tanknya yang mogok karena beku dan ketiadaan bahan bakar. “Hari yang paling terpuji dari Deutsche Wehrmacht,” katanya dengan ironis. “Tinggal 20 Km dari Moskow dan kehabisan bensin. Untuk apa semua ini?!,” ucapnya dengan emosi.
Ia seolah-olah tidak mendengar lagi dentuman dan desingan peluru. Sebuah peluru yang mengenai tanknya, menimbulkan bunyi dentingan yang keras. Tetapi dia tidak menghiraukannya. Lalu sebutir peluru tepat menembus dadanya, dan Von Wagenburg pun langsung mati terkulai di atas tanknya.
Tak jauh darinya, dua sosok tubuh berhimpitan kaku dalam lubang pertahanan. Si pengendara tank yang muda dan sersannya tak akan pernah melihat Lapangan Merah Moskow. Mereka keburu mati bukan karena tembakan musuh, tapi akibat beku. “Serangan ke Moskow telah gagal. Kami mengalami kemunduran hebat,” kata Guderian terus terang.
Tanggal 25 Desember, Hitler mencopot jenderal tanknya yang paling kesohor tersebut, meskipun sejarah telah menunjukkan bahwa ketika Hitler yang memegang komando, maka semuanya gagal dan dia mengorbankan begitu banyak prajurit Jerman untuk tujuan yang sia-sia. Berbeda dengan masa awal perang ketika para jenderalnya masih diberi wewenang menjalankan strateginya sendiri. Hasilnya adalah kemenangan demi kemenangan.
Tetapi di Rusia, semuanya sudah terlanjur, sehingga tak terhitung lagi jumlah kuburan tentara Jerman yang berserakan di bumi Soviet. (K-4| Oleh: Alif Rafik Khan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar